PENGERTIAN dan DEFINISI DARI PSIKOLINGUISTIK
Secara etimologis, istilah Psikolinguistik
berasal dari dua kata, yakni Psikologi dan Linguistik. Seperti kita ketahui
kedua kata tersebut masing-masing merujuk pada nama sebuah disiplin ilmu.
Secara umum, Psikologi sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat stimulus, hakikat respon, dan
hakikat proses‑proses
pikiran sebelum stimulus atau respon itu terjadi. Pakar psikologi sekarang ini
cenderung menganggap psikologi sebagai ilmu yang mengkaji proses berpikir
manusia dan segala manifestasinya yang mengatur perilaku manusia itu. Tujuan
mengkaji proses berpikir itu ialah untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan
perilaku manusia.
Linguistik
secara umum dan luas merupakan satu ilmu yang mengkaji bahasa
(Bloomfield,
1928:1). Bahasa dalam konteks linguistik dipandang sebagai sebuah sistem bunyi
yang arbriter, konvensional, dan dipergunakan oleh manusia sebagai sarana
komunikasi. Hal ini berarti bahwa linguistik secara umum tidak mengaitkan
bahasa dengan fenomena lain. Bahasa dipandang sebagai bahasa yang memiliki
struktur yang khas dan unik. Munculnya ilmu yang bernama psikolinguistik tidak
luput dari perkembangan kajian linguistik
Pada mulanya istilah yang digunakan untuk
psikolinguistik adalah linguistic psychology (psikologi
linguistik) dan ada pula yang menyebutnya sebagai psychology of language (psikologi
bahasa). Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih terarah dan
sistematis, lahirlah satu ilmu baru yang kemudian disebut sebagai
psikolinguistik (psycholinguistic).
Psikolinguistik
merupakan ilmu yang menguraikan proses‑proses
psikologis yang terjadi apabila
seseorang menghasilkan kalimat dan memahami
kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa
itu diperoleh manusia (Simanjuntak, 1987: 1). Aitchison (1984), membatasi
psikolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pikiran. Psikolinguistik
merupakan bidang studi yang menghubungkan psikologi dengan linguistik. Tujuan
utama seorang psikolinguis ialah menemukan struktur dan proses yang melandasi
kemampuan manusia untuk berbicara dan memahami bahasa. Psikolinguis tidak
tertarik pada
Pakar psikologi maupun pakar linguistik
sama‑sama
terlibat mempelajari psikolinguistik. Kedua pakar itu termasuk pakar ilmu
sosial. Oleh sebab itu, pendekatan yang mereka gunakan dalam bidang ilmu ini
hampir sama atau mirip. Semua ilmuwan ilmu sosial bekerja dengan menyusun dan
menguji hipotesis. Misalnya, seorang psikolinguis berhipotesis bahwa tuturan
seseorang yang mengalami gangguan sistem sarafnya akan berdisintegrasi dalam
urutan tertentu, yaitu konstruksi terakhir yang dipelajarinya merupakan unsur
yang lenyap paling awal. Kemudian ia akan menguji hipotesisnya itu dengan
mengumpulkan data dari orang‑orang
yang mengalami kerusakan otak. Dalam hal ini seorang ahli psikologi dan linguis
agak berbeda. Ahli psikologi menguji hipotesisnya terutama dengan cara
eksperimen yang terkontrol secara cermat. Seorang linguis, dalam sisi yang
lain, menguji hipotesisnya terutama dengan mengeceknya melalui tuturan spontan.
Linguis menganggap bahwa keketatan situasi eksperimen kadang‑kadang membuahkan hasil yang palsu.
Psikolinguistik jika diilustrasikan
bagaikan seekor bydra, yakni monster dengan jumlah kepala yang tak
terhingga. Tampaknya tidak ada batas yang akan dikaji oleh psikolinguistik.
Benarkah begitu? Simanjuntak (1987) menyatakan bahwa masalah‑masalah yang dikaji oleh psikolinguistik
berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini, yakni:
(1) Apakah
sebenarnya bahasa itu? Apakah bahasa itu bawaan ataukah hasil belajar? Apakah
ciri‑ciri
bahasa manusia itu? Unsur‑unsur
apa sajakah yang tercakup dalam bahasa itu?
(2) Bagaimanakah
bahasa itu ada dan mengapa ia harus ada? Di manakah bahasa itu berada dan
disimpan?
(3) Bagaimanakah
bahasa pertama (bahasa ibu) itu diperoleh oleh seorang anak? Bagaimana bahasa
itu berkembang? Bagaimana bahasa kedua itu dipelajari? Bagaimana seseorang
menguasai dua, tiga bahasa, atau lebih?
(4) Bagaimana
kalimat dihasilkan dan dipahami? Proses apa yang berlangsung di dalam otak
ketika manusia berbahasa?
(5) Bagaimana
bahasa itu tumbuh, berubah, dan mati? Bagaimana suatu dialek muncul dan berubah
menjadi bahasa yang baru?
(6) Bagaimana
hubungan bahasa dengan pikiran manusia? Bagaimana pengaruh kedwibahasaan
terhadap pikiran dan kecerdasan seseorang?
(7)
Mengapa seseorang menderita afasia?
Bagaimana mengobatinya?
(8) Bagaimana
bahasa itu sebaiknya diajarkan agar benar‑benar
dapat dikuasai dengan baik oleh pembelajar bahasa?
Jika Anda memperhatikan betapa banyak
pertanyaan yang harus dijawab oleh psikolinguistik itu, maka pernyataan bahwa
psikolinguistik bagaikan seekor bydra mungkin benar. Tetapi, sebenarnya
pernyataan bahwa psikolinguistik itu sebagai seekor bydra tidak
memuaskan. Oleh sebab itu, menurut Aicthison (1984) perlulah kiranya objek
kajian psikolinguistik itu dibatasi secara jujur. Pertanyaan‑pertanyaan yang diajukan oleh Simanjuntak
di atas disederhanakan lagi oleh Aitchison menjadi tiga pertanyaan saja.
Menurut Aitchison (1984) ada tiga hal sebenarnya yang menarik perhatian
psikolinguistik, yakni (1) masalah pernerolehan bahasa, (2) hubungan antara
pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa, dan (3) proses produksi dan pemahaman
tuturan.
1)
Masalah pemerolehan
Apakah
manusia memperoleh bahasa karena dia dilahirkan dengan dilengkapi pengetahuan
khusus tentang kebahasaan? Atau mereka dapat belajar bahasa karena mereka
adalah binatang yang sangat pintar sehingga mampu memecahkan berbagai macam
masalah?
2)
Hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa
Linguis
sering menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang memerikan representasi bahasa
internal seseorang (pengetahuan bahasanya). Ia kurang tertarik untuk memerikan
bagaimana penutur menggunakan bahasanya. Kemudian bagaimanakah hubungan antara
penggunaan dengan pengetahuan bahasa tersebut? Seseorang yang belajar bahasa
melakukan tiga hal:
(a)
Memahami kalimat (dekode)
|
>
|
penggunaan
bahasa
|
(b)
Menghasilkan kalimat (enkode)
|
>
|
penggunaan
bahasa
|
(c)
Menyimpan pengetahuan bahasa
|
>
|
pengetahuan bahasa
|
Linguis lebih tertarik pada butir c
daripada butir (a) dan (b). Apa yang perlu diketahui seseorang psikolinguis
ialah sebagai berikut: benarkah mengasumsikan bahwa tipe tata bahasa yang
disampaikan oleh linguis sesungguhnya mencerminkan pengetahuan individual yang
terinternalisasikan tentang bahasanya? Bagaimanakah pengetahuan itu digunakan
ketika seseorang menghasilkan tuturan (enkode) atau memahami tuturan (dekode)?
3).
Menghasilkan dan memahami tuturan
Dengan
mengasumsikan bahwa penggunaan bahasa tidak berbeda dengan pengetahuan bahasa,
apakah sesungguhnya yang terjadi ketika seseorang itu menghasilkan tuturan
(berenkode) atau memahami tuturan (berdekode)?
Tiga pertanyaan itulah yang dikaji dalam
psikolinguistik dengan mempertimbangkan empat tipe bukti, yakni:
(a) komunikasi
binatang
(b) bahasa
anak‑anak
(c) bahasa
orang dewasa yang normal
(d) tuturan
disfasik (orang yang terganggu tuturannya).
Perhatikan diagram berikut ini. Kotak‑kotak dalam diagram itu tidak merupakan
kotak yang tersekat dan terpisah ketat satu dengan yang lainnya. Tetapi, antara
kotak‑kotak
itu ada unsur‑unsur
yang menghubungkannya. Komunikasi binatang dihubungkan dengan bahasa anak oleh
kera yang berbicara. Hubungan antara bahasa anak dan bahasa orang dewasa yang
normal dihubungkan oleh tuturan anak usia 8‑14 tahun. Bahasa orang dewasa yang normal
dengan bahasa orang disfasik dihubungkan oleh “keseleo lidah” (slip of
tounge).
Sebelum kita berbicara tentang masalah
lain dalam psikolinguistik, kita sebaiknya memahami dulu penggunaan istilah tata
bahasa. Kita berasumsi bahwa agar dapat berbicara, setiap orang yang tahu
bahasanya memiliki tata bahasa yang telah diinternalisasikan dalam benaknya.
Linguis yang menulis tata bahasa membuat hipotesis tentang sistem yang
terinternalisasikan itu.
Istilah tata bahasa digunakan secara
bergantian untuk maksud representasi internal bahasa dalam benak seseorang dan
model linguis atau dugaan atas representasi itu.
Lebih jauh
lagi, ketika kita berbicara tentang tata bahasa seseorang yang terinternalisasikan
itu, istilah tata bahasa digunakan dalam pengertian yang lebih luas daripada
makna tata bahasa yang kita temukan dalam berbagai buku ajar. Tata bahasa itu
mengacu pada keseluruhan pengetahuan bahasa seseorang. Tata bahasa tidak hanya
menyangkut masalah tata kalimat, tetapi juga fonologi dan semantik.
TATA
BAHASA
FONOLOGI
|
SINTAKSIS
|
SEMANTIK
|
Pola bunyi
|
pola kalimat
|
pola makna
|
Karena sintaksis itu merupakan dasar yang paling
penting, maka kajian utama psikolinguistik ini akan banyak bertumpu pada kaidah
sintaktik. Secara teoretis, tujuan utama psikolinguistik ialah mencari satu
teori bahasa yang tepat dan unggul dari segi linguistik dan psikologi yang
mampu menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain,
psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa dan bagaimana
struktur ini diperoleh dan digunakan pada waktu bertutur dan memahami kalimat‑kalimat (ujaran‑ujaran). Secara praktis, psikolinguistik
mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah‑masalah seperti pengajaran dan pembelajaran
bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan,
penyakit bertutur seperti afasia, gagap dan sebagainya, komunikasi, pikiran
manusia, dialek-dialek, pijinisasi, dan kreolisasi, dan masalah‑masalah sosial lain yang menyangkut bahasa
seperti bahasa dan pendidikan, bahasa, dan pembangunan bangsa.
Dari definisi‑definisi itu, jelaslah bahwa
psikolinguistik adalah ilmu antardisiplin yang dilahirkan sebagai akibat adanya
kesadaran bahwa kajian bahasa merupakan sesuatu yang sangat rumit. Dengan
demikian, satu disiplin ilmu saja tidaklah dapat dan tidak mampu menerangkan
hakikat bahasa. Kerja sama antardisiplin semacam itu tidaklah merupakan hal
yang baru dalam bidang ilmu. Ilmu antardisiplin yang lain telah lama ada
seperti neuropsikologi, sosiolinguistik, psikofisiologi, psikobiologi,
psikofarmakologi, dan sebagainya.
nama penulisnya siapa
ReplyDelete