HAKIKAT
BAHASA MANUSIA
Menurut
Anda, apa yang istimewa pada bahasa? Apa yang membuat bahasa itu menjadi
sesuatu yang khusus? Perlu Anda ketahui bahwa ada sejumlah kegiatan manusia
seperti belajar mengemudi atau belajar merajut yang tampaknya dipelajari dengan
cara yang sama seperti tikus yang berusaha mengambil makanan di luar tempat
persembunyiannya. Tikus, seperti dalam percobaan yang dilakukan oleh para pakar
Psikologi Behaviorisme, belajar mengambil makanan di luar tempat
persembunyiannya dengan coba ralat (trial and error). Apakah bahasa juga
dipelajari dengan cara seperti itu? Tampaknya para pakar tidak sependapat jika
model belajar yang dilakukan oleh tikus itu diterapkan pada model belajar
bahasa. Mengapa bahasa tidak dipelajari dengan cara demikian?
Chomsky sering mendeskripsikan hakikat
bahasa dalam kajiannya. Satu hal yang ditekankannya ialah bahwa bahasa itu
menggunakan structure‑dependent
operations (operasi kebergantungan struktur). Operasi kebergantungan
struktur yang dimaksud ialah komposisi dan produksi tuturan tidak hanya
menguntai urutan kata‑kata.
Setiap kalimat memiliki struktur internal yang tak terdengar (onaudibel)
yang harus dimengerti oleh pendengar.
Agar dapat melihat dengan jelas apa yang
dimaksud dengan structure dependent operations, ada baiknya kita
bicarakan terlebih dahulu konsep tersebut. Misalkan, seorang makhluk
dari Planet Mars mendarat di bumi dan mencoba belajar bahasa Indonesia. Mungkin
ia akan mendengar kalimat:
Paman Doblang
menjatuhkan gigi palsunya di kamar mandi.
Kalimat
itu juga dapat dinyatakan dalam bentuk lain, yakni:
Di kamar
mandi, Ppaman Doblang menjatuhkan gigi palsunya.
Jika makhluk dari Planet Mars itu cukup
cerdas, ia akan mulai mencoba menduga rumusan kalimat permutasi dalam bahasa
Indonesia. Dugaannya yang pertama mungkin bahwa bahasa Indonesia mempunyai
kaidah yang menyatakan, Agar dapat membentuk kalimat permutasi,
keterangan tempat dapat diletakkan di depan kalimat.’ ������Secara ���������permukaan ��������strategi ���ini
�������mungkin ��������berjalan �������lancar. ���������Misalnya, kalimat seperti:
Bibi
Patonah duduk di belakang rumah.
Kalimat
itu dapat diubah menjadi kalimat sebagai berikut.
Di
belakang rumah bibi Patonah duduk.
Tetapi, dapat saja strategi yang dilakukan
oleh makhluk tersebut salah, seperti kalimat berikut ini.
Ibu pergi ke
pasar membeli daging.
la akan
mengubahnya menjadi:
*Daging ibu
pergi ke pasar membeli.
Makhluk dari Planet Mars itu salah dalam
menduga karena ia mencobakan manufer structure dependent operations yang
bersandarkan hanya pada prosedur rekognisi sederhana atau penghitungan mekanis
tanpa melihat pada struktur internal kalimat itu. Agar dapat menangkap prinsip
permutasi tersebut, makhluk dari Mars itu pertama‑tama
harus menyadari bahwa kalimat dalam bahasa Indonesia terdiri atas kelompok‑kelompok
kata. Jumlah kata dalam tiap unit kelompok itu tidak penting. Perhatikan
pengelompokan kata pada kalimat di atas.
Paman
Doblang // menjatuhkan gigi palsunya // di kamar mandi. Bibi Patonah // duduk
// di belakang rumah. Ibu // mem beli daging // di pasar
Untuk mengadakan permutasi, kelompok‑kelompok
kata tersebut harus berada dalam satu unit yang tak terpisahkan. Mengagumkan
sekali, anak‑anak yang belajar bahasa Indonesia
tampaknya tahu secara otomatis bahwa bahasa mencakup structure dependent
operation. Fenomena seperti itu menuntun Chomsky menyarankan bahwa
manusia mungkin mempunyai bakat pengetahuan tentang perangkat bahasa. Sejauh
ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya structure dependent operation itu
tampak begitu kompleks.
Aspek
fundamental bahasa yang lain adalah kreativitas. Hal itu berkali‑kali ditekankan oleh Chomsky. Dengan
kreativitas itu, Chomsky bermaksud mengatakan dua hal. Pertama dan
terutama, ia bermaksud bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan
menghasilkan tuturan yang baru. Bahkan, manusia mampu menghasilkan kalimat yang
aneh, yang mungkin belum pemah diucapkan sebelumnya yang tidak akan membuat masalah bagi
pembicara maupun bagi pendengamya. Misalnya:
(1) Gajah
itu minum bir tiga drum hingga mabuk dan kemudian mendengkur di sudut
kandangnya.
(2) Harimau
itu menyikat giginya dengan sikat gigi emas dan pasta gigi pepsodent biru.
Tuturan
semacam itu mungkin tidak pernah diucapkan oleh orang sebelumnya. Akan tetapi,
dapat saja muncul begitu saja dan bagi pembicara maupun penutur hal semacam itu
tidaklah begitu dipermasalahkan. Setiap orang yang sudah menguasai tata
bahasanya secara otomatis akan membuang tuturan yang menyimpang yang mungkin
belum pernah dijumpai sebelumnya. Misalnya kalimat: Makan yang itu dikirim
akan kacang orang goreng adiknya sudah barang tentu akan ditolak.
Kreativitas menurut Chomsky dalam
pengertian yang kedua ialah bahwa tuturan itu tidak dikendalikan oleh peristiwa
eksternal. Munculnya kelompok kata bunga mawar, misalnya, tidak
akan memaksa orang untuk berteriak, “mawar”. Dapat saja seseorang
akan mengatakan, Alangkah indah warnanya, atau, Oh, harum benar baunya,
atau yang lain akan berkata, Bunga lagi, bunga lagi. Bosan, ah. Jelaslah
bahwa bahasa tidak hanya merupakan untaian kata‑kata. Agar dapat berbicara, manusia
memiliki perangkat kaidah yang kompleks yang terinternalisasikan yang
memungkinkan dia mengucapkan serangkaian bahasanya yang mungkin (apa pun)
meskipun dia mungkin tidak memiliki pengetahuan kaidah itu secara sadar.
Misteri besar yang perlu dipecahkan ialah bagaimana anak‑anak membentuk gramatisator otomatis untuk
dirinya sendiri. Ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama,
bayi manusia tahu sebelumnya tentang bahasa itu seperti apa. Kemungkinan
kedua, tidak perlu ada pengetahuan khusus sebelumnya karena anak‑anak mampu memecahkan masalah dengan
sangat efisien dalam semua kawasan perilaku manusia. Chomsky percaya bahwa
manusia secara genetik dikaruniai pengetahuan tentang bahasa yang sering
dirujuk sebagai “hipotesis pembawaan” Obe innateness byphothesis). Maksud
bakat atau pembawaan itu menurut Chomsky adalah genetically programmed
(yang diprogram secara genetik). la tidak mengatakan bahwa bayi itu dilahirkan
dengan bahasa di benaknya dan siap untuk berbicara kapan saja. la hanya
menyatakan bahwa ada blueprint (cetak biru) di sana yang dapat digunakan
ketika anak itu sampai pada tahap perkembangan tertentu.
Kata berbicara
dapat digunakan dengan dua makna yang sama sekali berbeda. Pada satu sisi, ia
dapat bermakna ‘to utter words’ (mengucapkan kata) seperti halnya seekor
burung kakak tua yang berkata Selamat pagi atau mengumpat jangkrik, jangkrik,
atau seperti burung beo yang dapat berbicara, Assalamu ‘alaikum atau
memanggil‑manggil
nama seseorang, “Mawar, Mawar” atau Kulonuvrun, dan sebagainya.
Pada sisi lain, ia dapat bermakna’menggunakan bahasa dalam cara yang bermakna’.
Kita tahu bahwa binatang seperti kakak
tua, beo, dan sejenisnya dapat ‘berbicara’ dalam pengertian yang pertama.
Psikolinguis ingin membuktikan apakah binatang dapat berbicara dalam pengertian
yang kedua juga. Mereka tertarik pada masalah ini karena mereka ingin tahu
jawaban terhadap pertanyaan berikut ini: apakah kita adalah satu‑satunya makhluk yang mempunyai bahasa?
jika demikian, apakah hanya kita yang dapat memperoleh bahasa?
Untuk memahami hakikat bahasa, kita perlu
memahami dua hal penting. Pertama, tentang semua sistem komunikasi
binatang dibandingkan dengan bahasa manusia untuk melihat apakah
binatang dapat dikatakan berbicara dalam arti yang sesungguhnya. Kedua,
beragam upaya mengajari binatang untuk berbahasa juga dibahas dalam bab ini.
Tujuan semua kajian itu tidak lain adalah untuk melihat apakah hanya manusia
yang memiliki potensi untuk berbicara. Apakah kita secara biologis terpilih
sebagai binatang yang berbicara atau tidak.
Apakah binatang berbicara? Tugas kita
pertama‑tama
adalah menemukan apakah binatang itu sesungguhnya mempunyai bahasa. Untuk
menemukan jawaban itu, kita perlu membuat bandingan antara bahasa manusia
dengan komunikasi binatang.
Pertama yang perlu kita pertimbangkan
adalah apakah kita membandingkan sistem yang berbeda secara kuantitatif atau
secara kualitatif. Bahasa manusia mungkin berkembang secara gradual dari sarana
komunikasi binatang yang primitif dalam garis pertumbuhan yang
berkesinambungan. Pandangan semacam itu berangkat dari teori yang dikenal
dengan teori kontinuitas. Pada sisi lain, yakni teori diskontinuitas,
menyatakan bahwa bahasa manusia itu berbeda dengan bahasa binatang.
Pendukung teori kontinuitas mengatakan bahwa
bahasa tumbuh dari sistem panggil primata, seperti yang digunakan oleh kera
sekarang ini. Mereka berasurnsi bahwa manusia mulai ‘berbahasa’ dengan
seperangkat teriakan di mana tiap‑tiap
teriakan itu mempunyai maknanya masing‑masing
seperti bahaya, ikutilah saya, atau jangan sentuh betina itu, ia
milik saya. Teriakan‑teriakan
itu secara bertahap diperluas dan pelan‑pelan
berevolusi menjadi bahasa.
Masalah penting kedua yang kita hadapi
ialah tidak mudah untuk menentukan mana yang dianggap sebagai komunikasi
binatang. Untuk menentukannya kita harus memperhatikan contoh‑contoh di mana binatang itu secara sengaja
mencoba menyampaikan informasi.
B. CIRI BAHASA MANUSIA
Untuk membandingkan bahasa manusia dengan
sistem komunikasi binatang, langkah pertama ialah kita berupaya mendefinisikan
bahasa. Bloch dan Trager (1942), misalnya, memberikan definisi bahasa itu
sebagai berikut. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujar yang bersifat manasuka
yang merupakan sarana kelompok sosial bekerja sama. Jika kita
perhatikan definisi tersebut, terdapat beberapa unsur penting dalam
bahasa, yakni:
(a) bahasa itu sistem
(b) bahasa itu lambang bunyi
(c) bahasa itu dihasilkan oleh alat ucap manusia
(d) bahasa itu bersifat arbitrer (manasuka)
(e) bahasa itu merupakan sarana komunikasi antarmanusia.
Dari definisi tersebut, Aitchison (1984)
menyatakan bahwa karakteristik bahasa manusia itu adalah sebagai berikut.
1. menggunakan saluran vokal‑lauditoris
2. arbitrer
3. kebermaknaan
4. transmisi
budaya
5. penggunaan
spontan
6. saling
berganti
7. dualitas
8. keterpisahan
9. kebergantungan
struktur
10. kreativitas
Seagai catatan Hockett (1963) menyatakan
bahwa ada enam belas ciri bahasa manusia, yakni (1) jalur vokal‑auditoris, (2) penyiaran ke semua jurusan,
penerimaan terarah, (3) cepat hilang, (4) dapat saling berganti, (5) umpan
balik yang lengkap, (6) spesialisasi, (7) kebermaknaan, (8) kesewenangan, (9)
keterpisahan, (10) keterlepasan, (11) keterbukaan, (12) pembelajaran, (13)
dualitas struktur, (14) benar atau tidak, (15) refleksivitas, (16) dapat
dipelajari. Adapun mengenai hal terebut akan diuraikan seperti berikut.
1. Jalur vokal‑auditoris
Ciri ini merupakan karakteristik bahasa
yang paling tampak. Bunyi bahasa dihasilkan oleh alat ucap manusia dan
mekanisme pendengaran menerimanya. Penggunaan bunyi juga banyak digunakan oleh
binatang sebagai sarana komunikasi. Akan tetapi, tidak semua sinyal bunyi itu
dihasilkan oleh alat ucap. Burung pelatuk dengan paruhnya mematuk di pohon‑pohon, jangkerik mengerik dengan sayapnya,
ular getar (rattle snake) bersuara dengan menggetarkan ekornya, tetapi
memang ada binatang yang menggunakan alat ucapnya untuk menghasilkan sarana
komunikasi, seperti burung, sapi, kera, serigala. Meskipun demikian, kelompok
yang terakhir itu tidak memiliki ciri‑ciri
bahasa yang lain.
2. Arbitrer
Ciri ini mempunyai makna bahwa bahasa
manusia itu menggunakan lambang yang bersifat sewenang‑wenang. Artinya, antara lambang dengan yang dilambangkan tidak
mempunyai hubungan makna. Misalnya, mengapa suatu benda disebut kuda, tidak
lain karena ada kesepakatan antara pengguna bahasa untuk menyebutnya sebagai
kuda. Antara lambang bunyi /kuda/ dengan binatang yang berkaki empat yang dapat
meringkik itu tidak mempunyai hubungan makna apaapa. Bahasa merupakan hasil
kesepakatan bersama atau konvensi. jika sekelompok orang sepakat untuk menyebut
suatu benda itu, misalnya, sione, maka jadilah benda itu bernama sione.
Tetapi, harus juga dicermati bahwa terdapat kontroversi antara teori arbitrer
itu dengan teori yang lain. Sejak zaman Aristoteles, fenomena seperti itu sudah
didiskusikan. Terdapat dua aliran, yakni aliran analogi dan anomali.
Kelompok anomali adalah kelompok yang
sepaham dengan teori arbitrer tersebut,sedangkan kelompok analogi berpendapat
bahwa ada hubungan antara lambang dengan sesuatu yang dilambangkan. Beberapa
contoh dikemukakan sebagai berikut.
jangkerik bunyinya
krik, krik, krik
cicak bunyinya
cak, cak, cak
tokek “”‑‑‑‑bun~inya tokek, tokek dan sebagainya.
Contoh itu menunjukkan terjadinya bahasa
karena peristiwa onomatope atau tiruan bunyi. jadi, ada alasan mengapa sesuatu
dinamakan sesuatu; atau ada hubungan antara lambang dengan sesuatu yang
dilambangkan. Contoh lain gejala semacam itu tampak pada apa yang disebut
sebagai apelativa, yakni penyebutan sesuatu berdasarkan penemu, pabrik pembuatnya,
atau nama dalam sejarah.
ikan
mujair penemunya
Pak Mujair
ketela
mukibat penemunya Pak Mukibat
kondom penemunya
Prof. Kondom
kodak merknya
Kodak
colt merk
mobilnya Colt dst.
Gejala etimologi rakyat dalam berbagai
bahasa daerah di Indonesia, terutama dalam bahasa jawa yang dikenal dengan
kerata basa, juga merupakan petunjuk adanya aliran analogi. Orang jawa
menjelaskan bahwa kata‑kata
tertentu itu ada janva dosoknya (etimologi rakyatnya).
Contoh:
1.
kursi mungkur karo ngisi (membelakangi
sambil mengisi)
2.
dubang idu sing rupane abang (air lidah
yang wamanya merah)
3.
wedang ngawe kadang (memanggil saudaranya)
4.
tepas titip napas (titip nafas)
5.
krikilkeri marang sikil ( geli pada kaki)
Gejala pembentukan kata seperti itu juga
tampak dalam bahasa Indonesia seperti berikut ini.
tilang : bukti pelanggaran
rudal : peluru kendali
bemo :
becak motor
angguna :
angkutan serba guna
gepeng :
gelandangan dan pengemis
wisman :
wisatawan mancanegara
wisnu :
wisatawan nusantara
bimas :
bimbingan masyarakat
inpres :
instruksi presiden dsb.
Kontroversi analogi dan anomali itu
sebenarnya tidak perlu dipertajam. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa itu
dapat dibentuk berdasarkan sudut pandang analogi maupun anomali, namun secara
kuantitatif gejala anomali itu sangat dominan.
3. Kebermaknaan
Ciri
ini berarti bahwa bahasa mengacu pada objek atau tindakan. Bagi manusia, kursi
berarti tempat duduk yang berkaki empat dan memiliki sandaran. Manusia dapat
membuat generalisasi dengan menerapkan nama kursi itu untuk semua jenis kursi
dan tidak hanya untuk satu tipe kursi saja. Lebih jauh lagi, kebermaknaan dapat
pula mengacu pada tindakan. Misalnya, melompat mempunyai makna ‘melakukan
gerakan dengan mengangkat kaki ke depan, ke bawah, atau ke atas, dengan cepat’.
Kebermaknaan merupakan ciri bahasa yang
khas manusia. Binatang mungkin hanya dapat mengkomunikasikan tentang situasi
secara keseluruhan. Seekor ayam betina yang meneriakkan tanda bahaya ketika ada
serigala di dekat anak‑anaknya
mungkin hanya menyampaikan pesan, “Awas, awas! Ada bahaya mengancam!” Ayam
betina itu tidak akan menggunakan kode yang bermakna ada serigala, misalnya.
Mengapa demikian? Dalam situasi bahaya yang lain, misalnya, ada ancaman burung
elang atau ular ganas, ia juga akan menggunakan tanda komunikasi yang sama
untuk anak‑anaknya.
Jadi, ia tidak membedakan antara tanda bahaya karena ada ancaman serigala,
elang, ular, atau ancaman yang lain.
4. Transmisi budaya
Ciri
ini menunjukkan bahwa bahasa manusia itu diturunkan dari generasi sebelumnya.
Peranan pengajaran dalam dunia binatang tidak begitu jelas. Kita tidak tahu
persis apakah burung itu mengajari anaknya untuk menyanyi atau berkomunikasi,
atau anaknya belajar dari induknya untuk berkomunikasi. Bagi burung, mungkin
nyanyiannya itu sebagian besar adalah bawaan dan mungkin sebagian kecil saja
yang merupakan hasil belajar. Burung jalak misalnya, karena sejak kecil
mendengarkan suara burung kutilang, maka dapat juga ia menyanyikan lagu burung
kutilang, sementara nyanyian khas burung jalak itu masih tetap
dipertahankannya. Bahkan, mungkin karena sering mendengar kucing yang mengeong‑ngeong, tidak jarang ada burung jalak yang juga bisa mengeong
seperti kucing.
Meskipun perbedaan antara manusia dan
binatang atas ciri ini tidaklah merupakan ciri yang ketat berbeda, tampaknya
komunikasi dalam binatang itu jauh lebih merupakan bawaan daripada yang terjadi
pada manusia. Jika seorang anak diisolasikan, misalnya dari kehidupan manusia,
ia tidak akan mampu berbahasa. Sebaliknya, burung yang diisolasikan dari dunia
burung, masih tetap akan dapat menyanyi seperti burung yang lainnya.
5. Penggunaan spontan
Ciri
ini bersifat sosial. Penggunaan spontan menunjukkan manusia itu dapat memulai
berbicara secara manasuka. Berbicara bagi manusia tidak dalam situasi terpaksa
atau dipaksa seperti halnya anjing yang berdiri di atas dua kaki belakangnya
karena mendapatkan makanan atau mungkin cambukan. Sebenarnya ciri ini juga
tidak khas manusia sebab beberapa binatang juga dapat memulai komunikasinya
secara bebas dan tidak dalam keadaan terpaksa.
Ciri
ini menunjukkan bahwa bahasa manusia dapat digunakan secara bergiliran. Ketika
seseorang sedang berbicara, maka yang lain mendengarkan dan kemudian ganti
berbicara, jika diperlukan. Dalam sebuah percakapan, misalnya, kita tidak akan
berbicara sementara lawan kita sedang berbicara. Kita menunggu giliran kita
berbicara dengan sopan. Perhatikan dialog berikut ini.
(‑) Selamat pagi, Pak.
(+)
Selamat pagi. Ada yang dapat saya bantu?
(‑) Saya mau minta tolong
untuk menyelesaikan tugas ini, Pak.
(+) Baiklah, letakkan di situ dulu, nanti
kalau saya agak luang akan saya tangani.
(‑) Terima kasih, Pak.
(+) Sama‑sama.
Dari
dialog itu tampak bahwa dalam berkomunikasi dengan bahasa, manusia dapat
menunggu gilirannya berbicara.
7. Dualitas atau artikulasi ganda
Ciri ini menunjukkan bahwa bahasa manusia
itu diorganisasikan menjadi dua tataran, yakni kesatuan dasar yang berupa bunyi
tuturan seperti bunyi /a/, /p/, / e/, /l/, tidak akan bermakna
apabila berdiri sendiri‑sendiri. Tetapi demikian bunyi itu
bergabung menjadi satu unit, /apel/, maknanya jelas sekali, yakni
sejenis buah-buahan. Fenomena semacam itu hanya khas milik manusia. Binatang
tidak memiliki unit bunyi‑bunyi yang kemudian disatukan dan
mengandung makna semacam itu. Beberapa jenis binatang konon juga memilikinya,
tetapi dalam keadaan sangat terbatas.
8. Keterpisahan
Ciri ini mengandung makna bahwa bahasa itu
dapat digunakan untuk mengacu benda atau sesuatu yang jauh dalam pengertian
tempat dan waktu. Sekarang, misalnya, kita dapat saja berbicara tentang
kerajaan Majapahit yang ada dalam abad ke 14. Jelas dari segi waktu jauh di
belakang kita berabad‑abad
lamanya, namun bahasa dapat digunakan untuk mengacu pada peristiwa atau benda‑benda jauh di belakang kita dari segi
waktu. Demikian juga bahasa dapat digunakan untuk mengacu sesuatu yang jaraknya
jauh dari kita dari segi tempat. Kita dapat berbicara tentang Putri Diana yang
meninggal di Inggris, meskipun kita berada di Indonesia. Bahkan, sekarang ini
kita dapat berbicara secara langsung dengan orang-orang yang jaraknya bisa
mencapai ribuan bahkan jutaan kilometer dari kita.
Gejala
semacam itu jarang kita temukan pada binatang. ������Memang ���ada
��������beberapa binatang yang dapat berbuat seperti manusia. Lebah,
misalnya, mempunyai perilaku semacam itu. Bila seekor lebah
pekerja menemukan sumber madu ia akan kembali ke kelompoknya dan
menginformasikan bahwa ia menemukan sumber madu. la akan menari‑nari dengan cara tertentu bila sumber madu itu jauh, dan ia
akan menari‑nari dengan cara yang lain apabila sumber madu itu dekat saja.
Akan tetapi, secara umum, binatang kurang memiliki ciri keterpisahan tersebut.
Lebah tidak akan dapat menginformasikan bahwa ia kemarin lusa hinggap pada
sekuntum bunga yang sangat indah, yang merupakan sumber madu yang bagus. Mari
kita lihat apakah sekarang ini sumber madu itu masih ada atau tidak. Yang dapat
dikatakan oleh lebah itu hanyalah, ”Mari ke sumber madu yang saya temukan.”
Lebah itu tidak akan dapat menginformasikan, misalnya, ”Mungkin di puncak
Gunung Lawu banyak sekali madu. Kita bisa ke sana minggu depan.”
Tampaklah bahwa keterpisahan dalam sistem komunikasi lebah itu sangat
terbatas.
9. Ketergantungan
Ciri ini merupakan ciri yang sangat
penting bagi bahasa manusia. Manusia tidak hanya sekadar menerapkan rekognisi
sederhana atau teknik penghitungan ketika berbicara kepada orang lain. Mereka
secara otomatis mengenali pola hakikat bahasa dan memanipulasikan kotak
struktur. Misalnya, mereka memahami bahwa sekelompok kata kadang‑kadang dapat menjadi ekuivalensi bagi
kelompok yang lain. Misalnya, kalimat berikut ini.
Wanita tua
yang mengenakan kebaya lurik itu memberi makan ayam.
Manusia dapat mengatur kalimat aktif itu
menjadi kalimat pasif berdasarkan kaidah yang dimilikinya sebagai berikut.
Ayam itu
diberi makan oleh wanita tua yang mengenakan kebaya lurik.
Apakah binatang mampu melakukan hal serupa
itu? Rasanya tidak mungkin hal itu dikerjakan oleh binatang.
10.Kreativitas
Ciri yang secara keseluruhan sangat
penting adalah ciri kreativitas. Ciri ini sering juga disebut sebagai
keterbukaan atau produktivitas. Manusia dapat berbicara tentang apa pun tanpa
menimbulkan masalah kebahasaan bagi dirinya maupun bagi pendengamya. la dapat
berbicara apa yang diinginkannya dan kapan ia mau berbicara. jika ada petir,
misalnya, ia tidak secara otomatis mengucapkan kalimat
Ada
petir. Berlindunglah. Ia dapat saja berkata, Kilat petir
itu indah, bukan? atau, Menurut dongeng Cina, guntur itu adalah suara
dua ekor naga yang sedang bertempur dalam kaleng raksasa.
Setelah kita mengkaji ciri‑ciri
bahasa tersebut, dapatkah kita katakan bahwa binatang itu dapat berbahasa atau dapat
berbicara? Bila untuk mengukur binatang itu berbahasa atau tidak didasarkan
pada kesepuluh ciri tersebut, maka jawabnya jelas bahwa binatang itu tidak
berbahasa atau tidak berbicara. Binatang hanya memiliki sebagian kecil dari
ciri‑ciri
tersebut dalam keadaan terbatas. Burung bernyanyi mempunyai dualitas dan lebah
menari mempunyai ciri keterpisahan dalam derajat tertentu, namun seperti kita
ketahui, tidak ada sistem komunikasi binatang mempunyai dualitas dan keterpisahan.
Tidak ada sistem komunikasi binatang yang terbukti memiliki kebermaknaan atau
menggunakan structure dependent operations. Di atas semuanya itu,
tidak ada binatang yang berkomunikasi secara kreatif dengan binatang
lain.
Mendiskusikan
upaya mengajari binatang penting untuk membedakan mimikri dengan bahasa yang
sebenarnya. Burung kakak tua dan kabayan dapat menirukan manusia dengan
artikulasi yang baik. Konon ada kakak tua yang dapat mengucapkan
Selamat
Pagi, Selamat Sore, dan Selamat Jalan, dengan tepat
situasinya. Akan tetapi, kebanyakan burung hanya asal berbicara saja
tanpa melihat situasinya. Meskipun pagi hari, dapat saja ia berbicara Selamat
Sore. Atau baru saja bertemu ia sudah berbicara selamat jalan.
Meskipun ahli Psikologi banyak membuang waktunya untuk kakak tua semacam itu,
namun hasilnya tidaklah memuaskan. Kera tampaknya merupakan makhluk yang lebih
menjanjikan dan memberikan harapan untuk dapat diajar berbicara. Lebih dari
lima puluh tahun banyak percobaan dikerjakan untuk mengajari simpanse
berbicara.
Eksperimen
pertama gagal. Gua, seekor simpanse yang dimiliki Prof. Kelogg sejak berumur
tujuh bulan diajar berbahasa. la dianggap sebagai bayi manusia dan diberi
makanan seperti layaknya anak manusia. la makan dengan sendok, dimandikan, diberi
pakaian, dan diajar berbahasa. Meskipun ia pelan‑pelan
memahami makna kira‑kira tujuh puluh kata yang terpisah, sesungguhnya ia tidak
pernah berbicara. Gua menunjukkan secara jelas bahwa bukan masalah kurangnya
kesempatan dalam berbahasa. Sedangkan anak Prof. Kelogg yang umurnya sama
dengan simpanse itu tumbuh sebagai anak yang normal dan mampu berbicara dengan
baik.
Percobaan kedua terhadap simpanse
dilakukan oleh Keith dan Hayes yang memiliki simpanse bernama Vicki. Simpanse
itu diajar bahasa Inggris secara intensif selama tiga tahun. Tetapi, hasilnya
sangat mengecewakan. Vicki hanya mampu menguasai empat buah kata yakni papa,
mama, cup, dan up. Itu pun diucapkannya secara tidak begitu jelas.
Gagal dengan pelatihan bahasa lisan, atas
program pelatihan simpanse itu, ahli yang lain mencoba untuk membuat eksperimen
dengan menggunakan bahasa isyarat American Sign Language (ASL). Adalah
Gardner yang mempunyai seekor simpanse betina bernama Washoe. Simpanse itu
kemudian dilatih khusus menggunakan bahasa isyarat tersebut. Dalam sistem ini,
isyarat melambangkan kata.
Misalnya, kata manis dilambangkan dengan meletakkan tangan di atas
lidah, lucu dilambangkan dengan menekan ujung jari pada hidung sambil
mengeluarkan bunyi dengkur. Washoe memperoleh bahasa secara alami.
Mula‑mula
simpanse itu menguasai sejumlah kata tunggal, seperti come, gimme,
sweet, tickle‑‑sampai
sejumlah 34 kata dalam satu bulan. Lalu terus merayap sampai lebih
dari seratus kata. Tuturan Washoe jelas memiliki kebermaknaan. la tidak
mengalami kesulitan memahami tanda yang diberikan orang lain. Ia tidak
mengalami kesulitan bahwa tanda itu bermakna tertentu. Yang lebih mengesankan
lagi Washoe mampu memiliki kreativitas bahasa, yakni dengan menggunakan lambang‑lambang gerak itu secara bersamaan dalam
kombinasi yang bermakna. Tuturan hasil kreasi Washoe itu mirip dengan tuturan
anak‑anak
kecil yang belajar bahasa.
Simpanse lain yang dijadikan objek
eksperimen adalah Sarah, seekor simpanse betina milik Premack. Sarah dilatih
dengan cara lain. Dalam eksperimen itu digunakan manipulasi tanda‑tanda plastik pada papan magnetis. Tiap
tanda merepresentasikan sebuah kata. Segitiga berwama kuning, misalnya bermakna
lapel’; segi empat merah berarti ‘pisang’ dan sebagainya. Komunikasi Sarah agak
ganjil. la tidak terlibat dalam pembicaraan seperti Washoe. Sarah juga tidak
pernah memulai suatu pembicaraan atau tuturan dan juga tidak begitu diyakini
bahwa ia memiliki kreativitas bahasa. Eksperimen dengan Sarah membuktikan bahwa
anak‑anak
yang mengalami hambatan mental yang serius yangtidak dapat memperoleh bahasa
secara normal mungkin dapat diajar dengan sistem Sarah tersebut.
0 comments:
Post a Comment