Tahukah Anda bahwa bahasa sebagai objek,
studi ternyata menarik minat berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu. Banyak
pakar psikologi yang tertarik untuk mempelajari bahasa secara mendalam. Namun,
sebaliknya banyak pakar linguistik yang juga harus belajar psikologi agar
pemahamannya tentang bahasa sebagai objek kajiannya semakin menjadi baik. Hal
itu tidak mengherankan karena bahasa memang dapat menjadi kajian psikologi dan
jelas dapat menjadi kajian linguistik. Oleh sebab itu, pakar dari kedua
disiplin itu kemudian bersama‑sama
menjadikan bahasa sebagai objek studinya.
Sejak zaman Panini dan Socrates
(Simanjuntak, 1987) kajian bahasa dan berbahasa banyak dilakukan oleh sarjana
yang berminat dalam bidang ini. Pada masa lampau ada dua aliran yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan psikologi dan linguistik. Aliran yang pertama
adalah aliran empirisme (filsafat postivistik) yang erat berhubungan dengan
psikologi asosiasi. Aliran empirisme cenderung mengkaji bagian‑bagian yang membentuk suatu benda sampai
ke bagian‑bagiannya
yang paling kecil dan mendasarkan kajiannya pada faktor‑faktor luar yang langsung dapat diamati.
Aliran ini sering disebut sebagai kajian yang bersifat atomistik dan sering
dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme.
Aliran yang kedua adalah rasionalisme
(filsafat kognitivisme) yang cenderung mengkaji prinsip‑prinsip akal yang bersifat batin dan
faktor bakat atau pembawaan yang bertanggung jawab mengatur perilaku manusia.
Aliran ini mengkaji akal sebagai satu kesatuan yang utuh dan menganggap batin
atau akal ini sebagai faktor yang penting untuk diteliti guna memahami perilaku
manusia. Oleh sebab itu, aliran ini dianggap bersifat holistik dan dikaitkan
dengan nativisme, idealisme, dan mentalisme.
Jauh sebelum
psikolinguistik berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu sebenarnya telah banyak
dirintis kerja sama dalam bidang linguistik yang memerlukan psikologi dan
sebaliknya kerja sama dalam bidang psikologi yang membutuhkan linguistik. Hal
itu tampak, misaInya sejak zaman Wilhelm von Humboldt, seorang ahli linguistik
berkebangsaan Jerman yang pada awal abad 19 telah mencoba mengkaji hubungan
bahasa dengan pikiran. Von Humboldt memperbandingkan tata bahasa dari bahasa yang berbeda dan memperbandingkan perilaku
bangsa penutur bahasa itu. Hasilnya menunjukkan bahwa bahasa menentukan
pandangan masyarakat penuturnya. Pandangan Von Humboldt itu sangat dipengaruhi
oleh aliran rasionalisme yang menganggap bahasa bukan sebagai satu bahan yang
siap untuk dipotong‑potong
dan diklasifikasikan seperti anggapan aliran empirisme. Tetapi, bahasa itu
merupakan satu kegiatan yang mempunyai prinsip sendiri dan bahasa manusia merupakan
variasi dari satu tema tertentu.
Pada awal abad
20, Ferdinand de Saussure (1964) seorang ahli linguistik bangsa Swis telah
berusaha menjelaskan apa sebenarnya bahasa itu dan bagaimana keadaan bahasa itu
di dalam otak (psikologi). Dia memperkenalkan konsep penting yang disebutnya
sebagai langue (bahasa), parole (bertutur) dan langage (ucapan).
De Saussure menegaskan bahwa objek kajian linguistik adalah langue,
sedangkan parole adalah objek kajian psikologi. Hal itu berarti bahwa
apabila kita ingin mengkaji bahasa secara tuntas dan cermat, selayaknya kita
menggabungkan kedua disiplin ilmu itu karena pada dasarnya segala sesuatu yang
ada pada bahasa itu bersifat psikologis.
Edward Sapir seorang sarjana Linguistik
dan Antropologi Amerika awal abad ke‑20
telah mengikutsertakan psikologi dalam kajian bahasa. Menurut Sapir, psikologi
dapat memberikan dasar yang kuat bagi kajian bahasa. Sapir juga telah mencoba
mengkaji hubungan bahasa dengan pikiran. Simpulannya ialah bahasa itu
mempengaruhi pikiran manusia. Linguistik menurut Sapir dapat memberikan
sumbangan penting bagi psikologi gestalt dan sebaliknya, psikologi gestalt
dapat memberikan sumbangan bagi linguistik.
Pada awal abad ke‑20, Bloomfield, seorang linguis dari
Amerika Serikat dipengaruhi oleh dua buah aliran psikologi yang bertentangan
dalam menganalisis bahasa. Pada mulanya, ia sangat dipengaruhi oleh psikologi
mentalisme dan kemudian beralih pada psikologi behaviorisme. Karena pengaruh
mentalisme,
Bloomfield
berpendapat bahwa bahasa itu merupakan ekspresi pengalaman yang lahir karena
tekanan emosi yang yang sangat kuat. Karena tekanan emosi yang kuat itu,
misaInya, munculnya kalimat seruan.
Misalnya:
Aduh, sakit,
Bu!
Kebakaran,
kebakaran, tolong, tolong!
Copet, copet!
Awas, minggir!
Karena
seseorang ingin berkomunikasi, muncullah kalimat‑kalimat
deklaratif. Misalnya: Ibu sedang sakit hari ini. Ayah sekarang membantu ibu di
dapur. Banyak karyawan bank yang terkena PHK. Para buruh sekarang sedang
berunjuk rasa.
Karena
keinginan berkomunikasi itu bertukar menjadi pemakaian komunikasi yang
sebenarnya, maka mucullah kalimat yang berbentuk pertanyaan.
Misalnya:
Apakah Ibu sakit?
Siapakah
presiden keempat Republik Indonesia?
Mengapa
rakyat Indonesia telah berubah menjadi rakyat yang mudah marah? Apa arti
likuidasi?
Tahukah Anda
makna lengser keprabon?
Sejak tahun 1925, Bloomfield meninggalkan
mentalisme dan mulai menggunakan behaviorisme dan menerapkannya ke dalam teori
bahasanya yang sekarang terkenal dengan nama linguistik struktural atau
linguistik taksonomi.
Jespersen,
seorang ahli linguistik Denmark terkenal telah menganalisis bahasa dari suclut
panclang mentalisme dan yang seclikit berbau behaviorisme. Menurut jespersen,
bahasa bukanlah sebuah entitas dalam pengertian satu benda seperti seekor
anjing atau seekor kuda. Bahasa merupakan satu fungsi manusia sebagai simbol di
dalam otak manusia yang melambangkan pikiran atau membangkitkan pikiran.
Menurut Jespersen, berkomunikasi harus dilihat dari sudut perilaku (jadi,
bersifat behavioris). Bahkan, satu kata pun dapat dibandingkan dengan satu
kebiasaan tingkah laku, seperti halnya bila kita mengangkat topi.
Di samping ada tokoh‑tokoh linguistik yang mencoba menggunakan
psikologi dalam bekerja, sebaliknya ada ahli psikologi yang memanfaatkan atau
mencoba menggunakan linguistik dalam bidang garapannya, yakni psikologi. John
Dewey, misalnya, seorang ahli psikologi Amerika Serikat yang dikenal sebagai
pelopor empirisme murni, telah mengkaji bahasa dan perkembangannya dengan cara
menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak‑kanak berdasarkan prinsip‑prinsip psikologi. Dewey menyarankan,
misaInya, agar penggolongan psikologi kata‑kata
yang diucapkan anak‑anak
dilakukan berdasaran arti kata‑kata
itu bagi anak‑anak
dan bukan berdasarkan arti kata‑kata
itu menurut orang dewasa dengan bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara
ini berdasarkan prinsip‑prinsip
psikologi, akan dapat ditentukan perbandingan antara kata kerja bantu dan kata
depan di satu pihak dan kata benda di pihak lain. Jadi, dengan demikian kita
dapat menentukan kecenderungan pikiran (mental) anak yang dihubungkan dengan
perbedaan‑perbedaan
linguistik itu. Kajian seperti itu menurut Dewey akan memberikan bantuan yang
besar bagi psikologi pada umumnya.
Wundt, seorang ahli psikologi Jerman yang
terkenal sebagai pendukung teori apersepsi dalam psikologi menganggap bahwa
bahasa itu sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran. Wundt
merupakan ahli psikologi pertama yang mengembangkan teori mentalistik secara
sistematis dan sekarang dianggap sebagai bapak psikolinguistik klasik. Menurut
Wundt, bahasa pada mulanya lahir dalam bentuk gerak‑gerik yang dipakai untuk mengungkapkan
perasaan‑perasaan
yang sangat kuat secara tidak sadar. Kemudian terjadilah pertukaran antara
unsur‑unsur
perasaan itu dengan unsur‑unsur
mentalitas atau akal. Komponen akal itu kemudian diatur oleh kesadaran menjadi
alat pertukaran pikiran yang kemudian terwujud menjadi bahasa. Jadi, menurut
Wundt, setiap bahasa terdiri atas ucapan‑ucapan
bunyi atau isyarat‑isyarat
lain yang dapat dipahami menembus pancaindera yang diwujudkan oleh gerakan otot
untuk menyampaikan keadaan batin, konsep‑konsep,
perasaan‑perasaan
kepada orang lain. Menurut Wundt satu kalimat merupakan satu kejadian pikiran
yang mengejawantah secara serentak. Jika kita perhatikan maka terdapat
keselarasan antara teori evolusi Darwin dengan teori mentalisme bahasa Wundt
itu.
Teori performansi bahasa yang dikembangkan
Wundt itu didasarkan pada analisis psikologis yang dilakukannya yang terdiri
atas dua aspek, yakni (1) fenomena fisis yang terdiri atas produksi dan
persepsi bunyi, dan (2) fenomena batin yang terdiri atas rentetan pikiran.
Jelaslah bahwa analisis Wundt terhadap hubungan fenomena batin dan fisis itu
bagi psikologi pada umumnya bergantung pada fenomena linguistik. Itulah
sebabnya Wundt berpendapat bahwa interaksi di antara fenomena batin dan
fenomena fisis itu akan dapat dipahami dengan lebih baik melalui kajian
struktur bahasa.
Titchener,
seorang ahli psikologi berkebangsaan Inggris yang menjadi rakyat Amerika
menggambarkan dan menyebarluaskan ide Wundt itu di Amerika Serikat yang
kemudian terkenal dengan psikologi kesadaran atau psikologi introspeksi.
Pengenalan dan penyebaran teori introspeksi itu kemudian telah mencetuskan satu
revolusi psikologi di Amerika Serikat dengan berkembangnya teori behaviorisme
di mana kesadaran telah disingkirkan dari psikologi dan dari kajian bahasa.
Pillsbury
dan Meader, ahli psikologi mentalisme Amerika Serikat telah mencoba
menganalisis bahasa dari sudut psikologi. Analisis kedua sarjana psikologi itu
sangat baik ditinjau dari segi perkembangan neuropsikolinguistik dewasa ini.
Menurut Pillsbury dan Meader bahasa adalah satu alat untuk menyampaikan pikiran,
termasuk gagasan, dan perasaan. Mengenai perkembangan bahasa, Meader mengatakan
bahwa manusia mula‑mula berpikir kemudian mengungkapkan pikirannya itu dengan kata‑kata dan terjemahan. Untuk memahaminya, diperlukan pengetahuan
tentang bagaimana kata‑kata mewujudkan dirinya pada kesadaran seseorang, bagaimana
kata‑kata itu dihubungkan dengan ide‑ide
jenis lain yang bukan verbal, juga bagaimana ide‑ide
itu muncul dan terwujud dalam bentuk imaji‑imaji,
bagaimana gerakan ucapan itu dipicu oleh ide itu dan akhirnya bagaimana pendengar atau pembaca
menerjemahkan kata‑kata
yang didengarnya atau kata‑kata
yang dilihatnya ke dalam pikirannya sendiri. Tampaklah dalam pola pikir Meader
itu terdapat keselarasan antara tujuan psikologi mental dengan tujuan
linguistik seperti yang dikembangkan oleh Chomsky.
Watson,
seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika Serikat telah menempatkan perilaku
bahasa pada tingkatan yang sama dengan perilaku manusia yang lain. Dalam
pandangan Watson, perilaku bahasa itu sama saja dengan sistem otot saraf yang
berada dalam kepala, leher, dan bagian dada manusia. Tujuan utama Watson pada
mulanya adalah menghubungkan perilaku bahasa yang implisit, yaitu pikiran
dengan ucapan yang tersurat, yaitu bertutur. Akhirnya Watson menyelaraskan
perilaku bahasa itu dengan kerangka respon yang dibiasakan menurut teori
Pavlov. Menurut penyelarasan itu kata‑kata
telah diperlakukan sebagai pengganti benda-benda yang telah tersusun di dalam
satu sisi respon yang dibiasakan.
Buhler seorang ahli psikologi dari Jerman
mengatakan bahwa bahasa manusia mempunyai tiga fungsi, yaitu ekspresi, evokasi,
dan representasi. la menganggap definisi bahasa yang diberikan Wundt agak berat
sebelah. Menurut Buhler, ada lagi fungsi bahasa yang sangat berlainan yang
tidak dapat dimasukkan ke dalam gerakan ekspresi, yaitu koordinasi atau
penyelarasan. Jadi, satu nama dikoordinasikan (diselaraskan) dengan isi atau
kandungan makna. Dengan demiikian Buhler mendefiniskan bahasa menurut
fungsinya.
Weiss,
seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika yang terkenal dan sealiran dengan
Watson, telah menggambarkan kerja sama yang erat antara psikologi dan
linguistik. Hal tersebut dibuktikan dengan kontak media artikel antara Weiss
dan Bloomfield serta Sapir. Weiss mengakui adanya aspek mental bahasa, tetapi
karena aspek mental itu bersifat abstrak (tak wujud) sukarlah untuk dikaji atau
didemontrasikan. Oleh sebab itu, Weiss menganggap bahwa bahasa itu sebagai
wujud perilaku apabila seseorang itu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan
sosialnya. Sebagai suatu bentuk perilaku, bahasa itu memiliki ciri‑ciri biologis, fisiologis, dan sosial. Sebagai alat ekspresi,
bahasa itu memiliki tenaga mentalitas.
Weiss
merupakan seorang tokoh yang merintis jalan ke arah lahirnya disiplin
Psikolinguistik. Dialah yang telah berjasa
mengubah pikiran Bloomfield dari penganut mentalisme menjadi penganut
behaviorisme dan menjadikan Linguistik Amerika pada tahun 50‑an berbau behaviorisme. Menurut Weiss,
tugas seorang psikolinguis sebagai peneliti yang terlatih dalam dua disiplin
ilmu, yakni psikologi dan linguistik, adalah sebagai berikut.
(1) Menjelaskan
bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu alam pengganti untuk alam nyata
yang secara praktis tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
(2) Menunjukkan
bagaimana perilaku bahasa itu mewujudkan sejenis organisasi sosial yang
dapat ditandai sebagai sekumpulan organisasi kecil yang banyak.
(3) Menerangkan
bagaimana menghasilkan satu bentuk organisasi dan di dalam organisasi itu
pancaindera dan otot‑otot
seseorang dapat ditempatkan agar dapat dipakai dan dimanfaatkan oleh orang
lain.
(4) Menjelaskan
bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu bentuk perilaku yang menjadi fungsi
setiap peristiwa di alam ini yang telah terjadi, sedang terjadi, atau akan
terjadi, di masa depan.
Kantor,
seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika mencoba meyakinkan ahli‑ahli linguistik di Amerika bahwa kajian
bahasa tidaklah menjadi monopoli ahli Linguistik. la mencela keras beberapa
ahli filologi yang selalu berteriak agar ahli psikologi keluar dari kajian
bahasa yang menurut ahli filologi tersebut bukan bidang garapan ahli psikologi.
Menurut Kantor, bahasa merupakan bidang garapan bersama yang dapat dikaji baik
oleh ahli psikologi maupun oleh ahli bahasa. Kantor mengkritik psikologi
mentalisme yang menurut dia psikologi semacam itu tidak mampu menyumbangkan apa‑apa kepada linguistik dalarn mengkaji
bahasa. Bahasa tidak boleh dianggap sebagai alat untuk menyampaikan ide,
keinginan, atau perasaan, dan bahasa bukanlah alat fisis untuk proses mental,
melainkan perilaku seperti halnya perilaku manusia yang lain.
Caroll,
seorang ahli psikologi Amerika Serikat yang sekarang merupakan salah satu tokoh
psikolinguistik modern telah mencoba mengintegrasikan fakta‑fakta yang ditemukan oleh linguistik murni
seperti unit ucapan, keteraturan, kadar kejadian dengan teori psikologi pada
tahun 40‑an.
Kemudian ia mengembangkan teori simbolik, yakni teori yang mengatakan bahwa
respon kebahasaan harus lebih dulu memainkan peranan dalam keadaan isyarat
sehingga sesuatu menjelaskan sesuatu yang lain dengan perantaraan. Keadaan
isyarat itu haruslah sedemikian rupa sehingga organisme dengan sengaja
bermaksud agar organisme lain memberikan respon kepada isyarat itu sebagai satu
isyarat. Dengan demikian, respon itu haruslah sesuatu yang dapat dilahirkan
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh mekanisme‑mekanisme.
Para
ahli linguistik dan psikologi yang dibicarakan di atas telah mencoba merintis
hubungan atau kerja sama antara psikologi dan linguistik. Sebenarnya kerja sama
yang benar‑benar
terjadi antara ahli psikologi dan linguistik itu telah terjadi sejak tahun
1860, yaitu ketika Heyman Steinhal, seorang ahli psikologi bertukar menjadi
ahli linguistik dan Moritz Lazarus seorang ahli linguistik bertukar menjadi
ahli psikologi. Mereka berdua menerbitkan jurnal yang khusus memperbincangkan
psikologi bahasa dari sudut psikologi dan linguistik. Steinhal mengatakan bahwa
ilmu psikologi tidaklah mungkin hidup tanpa ilmu bahasa.
Pada tahun 1901, di Eropa, Albert Thumb seorang ahli
linguisstik telah bekerja sama dengan seorang ahli psikologi Karl Marbe untuk
menerbitkan buku yang kemudian dianggap sebagai buku
psikolinguistik pertama yang diterbitkan, tentang penyelidikan eksperimental
mengenai dasar‑dasar psikologi pembentukan analogi pertuturan. Kedua sarjana
itu menggunakan kaidah‑kaidah psikologi eksperimental untuk meneliti hipotesis‑hipotesis linguistik. Hal itu menunjukkan kukuhnya disiplin
psikolinguistik. Salah satu hipotesis yang mereka teliti kebenarannya adalah
keadaan satu rangsangan kata yang cenderung berhubungan dengan satu kata lain
apabila kedua‑duanya termasuk ke dalam kategori yang sama; kata benda
berhubungan dengan kata benda yang lain; kata sifat berhubungan dengan kata
sifat yang lain. Di Amerika Serikat usaha ke arah kerja sama secara langsung
antara, ahli linguistik dan ahli psikologi dirintis oleh Social Science
Researcb Council yang menganjurkan diadakannya seminar antara ahli
psikologi dan linguistik secara bersama‑sama.
Osgood (ahli psikologi), Sebeok (ahli linguistik) dan Caroll (ahli psikologi)
mengadakan seminar bersama‑sama. Hasil dari seminar tersebut adalah
terbitnya buku Psikolinguistik yang berjudul Psycholinguistic, a survey of
theory and research problems pada tahun 1954 yang disunting olch
Osgood dan Sebeok. Meskipun demikian, nama disiplin baru Psikolinguistik
itu muncul bukan karena seminar itu, karena sebenarnya Pronko pada tahun 1946
telah memberikan ulasan tentang Psikolinguistik dengan teknik‑teknik penyelidikannya.
Psikolinguistik benar‑benar dianggap sebagai disiplin baru,
sebagai ilmu tersendiri pada tahun 1963, yaitu ketika Osgood menulis satu
artikel dalam jurnal
American Psychology yang berjudul On understanding and
creating sentences. Dalam tulisan itu, Osgood menjelaskan teori baru
dalam behaviorisme yang dikenal dengan neobehaviorisme yang dikembangkan oleh
Mowrer, yakni seorang ahli psikologi yang sangat berminat untuk mengkaji
bahasa. Pandangan Osgood itu kemudian terkenal dengan teori mediasi, yaitu
suatu usaha mengkaji peristiwa batin yang menengahi stimulus dan respon yang
dianggap oleh Skinner sebagai usaha untuk memperkukuh peranan akal ke dalam
psikologi yang oleh kaurn behaviorisme dianggap tidak ilmiah karena peristiwa
itu tidak dapat diamati secara langsung.
Teori
Osgood yang disebut sebagai teori mediasi itu telah dikritik habis‑habisan oleh Skinner yang menuduhnya sebagai pakar yang mencoba
mempertahankan mentalisme yang sebelumnya telah disingkirkan oleh behaviorisme.
Osgood merasakan kekuatan teorinya itu dengan dukungan Lenneberg, yang
merupakan produk pertama mahasiswa yang digodok dalam kajian Psikolinguistik.
Lenneberg berpenclapat bahwa manusia memiliki kecenderungan biologis yang
khusus untuk memperoleh bahasa yang tidak dimiliki oleh hewan. Alasan Lenneberg
untuk membuktikan hal tersebut adalah sebagai berikut:
(1) terdapatnya
pusat‑pusat
yang khas dalam otak manusia;
(2)
perkembangan bahasa yang sama bagi semua
bayi;
(3)
kesukaran
yang dialami untuk
menghambat pertumbuhan bahasa
pada manusia;
(4)
bahasa tidak mungkin diajarkan kepada
makhluk lain;
(5)
bahasa itu memiliki kesemestaan bahasa (language
universal).
Miller
pada tahun 1965 memastikan bahwa kelahiran disiplin baru Psikolinguistik ticlak
dapat dielakkan lagi. Menurut Miller, tugas Psikolinguistik adalah menguraikan
proses psikologis yang terjadi apabila seseorang itu menggunakan kalimat.
Pendapat Miller itu sangat berorientasi pada mentalisme Chomsky dan teori
Lenneberg, sedangkan Osgood dan Sebeok masih berbau neobehaviorisme. Miller
dengan tegas menolak pendapat Osgood clan Sebeok yang banyak mendasarkan pada
prinsip mekanis pembelajaran menurut behaviorisme. Miller memperkenalkan teori
linguistiknya Chomsky kepada pakar psikologi. Miller juga mengkritik pakar
Psikologi yang terlalu mengandalkan kajian makna. Namun, perkembangan
Psikolinguistik pada awal abad ke‑20
itu memang masih didominasi oleh Psikologi Behaviorisme maupun Neobehaviorisme.
Teori
psikolinguistik secara radikal setidak‑tidaknya
mengalami lima perubahan arah setelah berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu
tersendiri pada tahun 50-an (Titone, 1981). Perubahan itu dapat disarikan
sebagai berikut.
Periode 1
Selama tahun 50-an teori Psikolinguistik
dipengaruhi oleh pandangan teori behavioristik seperti yang dikembangkan
Skinner dan teori taksonomi struktural seperti yang dikembangkan Bloomfield.
Periode 2
Selama tahun 60-an dan awal tahun 70-an
pandangan mentalistik kognitivis dari transformasionalis seperti Chomsky
mendominasi semua aspek Psikolinguistik.
Periode 3
Perubahan tekanan pada periode ini menuju
ke arah pragmatik komunikatif. Aspek bahasa dalam lingkaran teori
transformasional secara mendalam masih mempengaruhi teori Psikolinguistik dan
juga pengajaran bahasa kedua pada tahun 70-an.
Periode 4
Pada akhir dekade terakhir pandangan
Pragmatik atau Sosiolinguistik menjadi arus utama pada periode ini.
Periode 5
Pada tahun-tahun terakhir diusulkan model
integratif yang terdiri atas komponen behavioral dan kognitif serta ciri
kepribadian.
0 comments:
Post a Comment