Pernahkah Anda mencoba merenungkan
bagaimana proses Anda dapat menghasilkan tuturan dan bagaimana proses Anda
memahami tuturan orang lain yang disampaikan pada Anda? Meski sehari‑hari kita menghasilkan ujaran dan memahami
ujaran orang lain, rasanya tak pernah terpikirkan oleh kita bagaimana proses
berbahasa itu terjadi. Untuk dapat memahaminya Anda perlu memahami dulu tentang
tindak berbahasa.
De Saussure seorang linguis dari Swiss
menyatakan bahwa proses bertutur atau tindak bahasa itu merupakan rantai
hubungan di antara dua orang atau lebih penutur A dan pendengar B (Simanjuntak,
1987). Perilaku tuturan itu terdiri atas bagian fisik yang terdiri atas mulut,
telinga dan bagian dalam yaitu bagian jiwa atau akal yang terdapat dalam otak
bertibdak sebagai pusat penghubung. Jika A bertutur, maka B mendengar dan jika
B bertutur maka, A mendengar.
Di
dalam otak penutur A terdapat fakta‑fakta
mental atau konsep‑konsep yang dihubungkan dengan bunyi‑bunyi kebahasaan sebagai perwujudannya yang digunakan untuk
menyatakan konsep‑konsep itu. Baik konsep maupun bayangan bunyi itu berada dalam
otak, yaitu pada pusat penghubung. jika penutur A mengemukakan suatu konsep
kepada penutur B, maka konsep tersebut membukakan pintu kepada pewujudnya yang
serupa yaitu bayangan bunyi yang masih ada dalam otak dan merupakan fenomena
psikologis. Kemudian otak mengirimkan dorongan hati yang sama dengan bayangan
bunyi tadi kepada alat-alat yang mengeluarkan bunyi dan ini merupakan proses
fisiologis. Kemudian gelombang bunyi bergerak dari mulut A ke telinga B dan ini
merupakan proses fisik. Dari telinga B gelombang bunyi bergerak terus ke arah
otak B dalam bentuk dorongan hati dan ini juga proses psikologis yang
menghubungkan bayangan bunyi ini dengan konsep yang terjadi, seperti yang
digambarkan dalam gambar berikut ini.
Audisi Fonasi
0 k:
konsep
k b
O b:
bayangan bunyi
Fonasi Audisi
Gambar 2.1
Proses Bertutur dan Memahami (Simanjuntak, 1984)
Leonard
Bloomfield (1933) yang merupakan seorang pengikut behaviorisme
(meskipun sebenarnya semula dia adalah
seorang pengikut mentalisme) menggambarkan proses bertutur itu dengan cerita
sebagai berikut.
Jack
dan Jill berjalan‑jalan.
Jill melihat apel yang sedang masak di pohon. Jill berkata kepada Jack bahwa
dia lapar dan ingin memetik apel itu. Jack memanjat pohon apel dan memetiknya
serta memberikannya kepada Jill. Secara skematis peristiwa itu dapat
digambarkan sebagai berikut.
S r
|
............................................
|
|
|
s
|
R
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
1 : Jill
melihat apel (S)
2
:
Otak Jill bekerja mulai dari melihat apel sampai berkata pada Jack
3
:
Perilaku atau kegiatan Jill waktu berkata (r)
4 : Bunyi‑bunyi
yang dikeluarkan oleh Jill waktu berkata
5
: Perilaku atau kegiatan Jack sewaktu
mendengar bunyi yang dikeluarkan Jill (S)
6 :
Otak Jack bekerja mulai dari mendengar bunyi‑bunyi sampai mulai bertindak
7
:
Jack bertindak memetik apel dan memberikannya kepada Jill (R).
Nomor 3, 4,
dan 5 (r ...... s) adalah lambang tindak bahasa yang dapat diobservasi secara
fisiologis dan nomor 4 sendiri dapat diamati secara fisiologis. r adalah
produksi bunyi bahasa lambang ucapan S pengamatan bunyi bahasa Situasi S
dan R adalah makna tindak bahasa itu.
Apabila kita menguasai suatu bahasa, maka dengan mudah tanpa
ragu‑ragu kita dapat menghasilkan kalimat‑kalimat baru yang tidak terbatas jumlahnya. Teori semacam itu
merupakan teori Chomsky. Teori itu terutama menyangkut sepasang pembicara yang
ideal dalam suatu masyarakat bahasa, di mana kedua pembicara itu mempunyai
kemampuan yang sama. Penutur dan pendengar harus mengetahui bahasanya dengan
baik. Terjadinya proses komunikasi bahasa membutuhkan interaksi dari bermacam‑macam faktor, yaitu kompetensi bahasa penutur dan pendengar
sebagai pendukung komunikasi tadi. Chomsky membedakan kompetensi bahasa, yaitu
pengetahuan penutur tentang bahasanya dan performansi yaitu penggunaan bahasa
(menghasilkan dan memahami kalimat‑kalimat
dalam realitas).
1. Memahami
Tuturan
Masalah
menghasilkan tuturan dan memahami tuturan dalam komunikasi merupakan masalah
yang rumit jika ditinjau dari sudut bahasa. Masalah utamanya adalah mungkin
saja hubungan di antara keduanya itu tidak merupakan hubungan langsung.
Meskipun, mungkin akan sangat lebih sederhana apabila psikolinguis mengatakan
bahwa hubungan itu langsung. Tentu saja asumsi semacam itu tidak berdasar dan
paling tidak ada beberapa kemungkinan hubungan, di antaranya sebagai berikut.
1. Menghasilkan
dan memahami tuturan merupakan dua hal yang memang sama sekali berbeda.
2. Memahami
tuturan itu tidak lain adalah menghasilkan tuturan dan sebaliknya.
3. Memahami
tuturan dan menghasilkan tuturan itu sama saja.
4. Memahami
tuturan dan menghasilkan tuturan itu mungkin sebagian sama dan sebagian yang
lain berbeda (Aitchison, 1984).
Rentangan pilihan itu harus kita
pertimbangkan untuk memperlakukan pemahaman dan produksi ujaran itu secara
terpisah. Tampaknya kemungkinan 4 merupakan kemungkinan yang realistis. Proses
produksi kalimat itu pada hakikatnya bermula dari makna dan kemudian pembicara
mengantikannya dengan bunyi bahasa. Hal itu sejajar dengan pemahaman makna yang
bermula dari bunyi bahasa dan pendengar menggantikannya dengan makna. Dalam
menghasilkan kalimat atau tuturan, urutan ketat antara tahap‑tahap semantik, sintaksis, dan fonetik
tidak perlu harus ditaati. Kadang‑kadang
urutan itu bisa dilompati.
Dalam proses memahamii tuturan, sebenarnya
telah terjadi proses mental dalam diri pendengar. Pendengar tidak hanya secara
pasif mendaftar bunyi‑bunyi
itu saja, tetapi ia secara aktif memproses dalam pikirannya. Ada tuturan yang
mudah dipahami dan ada pula tuturan yang sukar dipahami. Tuturan itu sukar bagi
pendengar apabila tuturan itu tidak sesuai dengan harapan kebahasaannya dan
jauh dari batas psikologis tertentu. Pendengar merekonstruksi secara aktif
bunyi-bunyi bahasa dan kalimat dalam keselarasannya dengan harapan, baik secara
kebahasaan maupun secara psikologis.
Selama ini linguis beranggapan bahwa
proses memahami itu sederhana. Pendengar menebak, seperti seorang sekretaris
duduk dengan mesin tiknya mengetik apa yang didiktekan kepadanya. Sekretaris itu
secara mental mengetik bunyi‑bunyi
yang didengamya satu per satu dan kemudian membaca bunyi‑bunyi yang membentuk kata itu. Dapat juga
diibaratkan proses memahami tuturan itu seperti seorang detektif memecahkan
kejahatan dengan mencocokkan sidik jari yang ditemukan di tempat kejadian
perkara dengan sidik jari yang terdapat dalam arsipnya dan melihat sidik jari
siapa itu. Karena tidak ada dua sidik jari pun yang sama, maka dianggapnya
bunyi‑bunyi
itu mempunyai pola bunyi yang unik.
Ternyata pendekatan sekretaris dan sidik
jari itu telah dibuktikan salah, baik oleh para ahli fonetik maupun ahli
psikolinguistik. Hal itu menimbulkan beberapa masalah. Pertama, jelas
bahwa pendengar tidak dapat mencocokkan bunyi satu per satu. Kecepatan tuturan
tidak memungkinkan hal itu terjadi. Kedua, tidak ada representasi bunyi
yang pasti dengan simbol pada mesin tik, misalnya huruf /t/. Bunyi itu
bervariasi dari orang ke orang dan dari distribusi ke distribusi. Dengan
demikian, tidak akan ada kecocokan secara langsung antara bunyi itu dengan
simbol huruf pada mesin tik. Ketiga, bunyi secara akustis berada dalam
sebuah kontinum. Bisa saja bunyi itu mempunyai kemiripan, misalnya /g/ seperti
/k/, /d/ bisa menjadi /t/, dan sebagainya.
Pendengar
memproses bunyi‑bunyi itu secara aktif, melihat berbagai kemungkinan pesan
bunyi itu dengan menggunakan latar belakang pengetahuannya tentang bahasa.
Bukti yang paling jelas ialah betapa sulitnya kita menafsirkan bunyi‑bunyi yang berasal dari bahasa asing yang kita tidak memiliki
pengetahuan atau
sedikit sekali pengetahuan tentangnya. Hal itu disebabkan kita begitu sibuk
mencari apa yang kita harapkan untuk didengar. Kita gagal memperhatikan fitur
yang baru. Yang diharapkan oleh pendengar itu tidak hanya pola bunyi, tetapi
juga pola kalimat dan makna. Urutan pemahaman juga tidak harus kaku dari bunyi
ke kalimat, kemudian ke makna, tetapi dapat saja seorang melompat dari bunyi
langsung ke makna. Sebagai contoh, jika kita mendengar suara nenggonggong,
tanpa melihat pun kita tahu bahwa itu adalah suara anjing atau bisa pula orang
meniru suara anjing. Bukti itu menyarankan bahwa kita membuat dugaan yang mirip
tentang apa yang kita dengar. Macam dugaan seseorang itu bergantung pada apa
yang diharapkan untuk didengarnya. Apa yang sebenamya diharapkan oleh pendegar
ketika akan memahami tuturan?
Ketika seseorang siap untuk memahami
tuturan ia sebenamya mencocokkan tuturan itu dengan sejumlah asumsi atau
harapan tentang struktur dan isi kalimat bahasanya. Kalimat yang cocok dengan
harapannya akan lebih mudah dipahami dan yang tidak cocok akan sukar dipahami.
Seperti apakah asumsi itu? Ada empat asumsi menurut Aitchison (1984), yakni
sebagai berikut.
Asumsi 1:
Setiap kalimat
terdiri atas satu atau dua penggalan bunyi dan setiap penggalan secara normal
merupakan frase kata benda yang diikuti oleh frase kata kerja dan secara
manasuka diikuti oleh frase kata benda yang lain. Jadi, setiap kalimat mungkin
sederhana atau kompleks dan dapat terdiri atas beberapa penggalan bunyi.
Contoh:
Anak
itu makan. (Frase kata benda ‑
frase kata kerja)
Anak
itu makan kacang. (Frase benda ‑
frase kata kerja ‑
frase kata benda)
Asumsi 2:
Dalam urutan ‘frase kata benda‑kata kerja‑frase kata benda’, kata benda yang pertama
biasanya adalah pelaku dan yang kedua adalah objek. Begitulah kalimat itu
mempunyai urutan pelaku tindakan dan objek.
Contoh:
Ali
memukul bola.
Ali
sebagai pelaku. Bola sebagai objek.
Asumsi 3:
Bila sebuah kalimat kompleks dibentuk dari
klausa utama dan klausa bawahan, klausa utama itu biasanya muncul lebih dulu.
Contoh:
Ayah sedang
makan ketika ibu datang.
‘Ayah
sedang makan’ sebagai klausa utama. ‘ketika ibu datang’ sebagai klausa bawahan.
Asumsi 4:
Kalimat itu biasanya membentuk makna.
Artinya, orang itu mengatakan sesuatu yang mempunyai makna dan tidak hanya asal
berbicara.
Contoh:
1.
Bunga itu harum sekali.
2.
Karena dan itu bukan hanya daripada dari
sebab.
Kalimat (1) mempunyai makna. tetapi,
kalimat (2) itu tidak dapat disebut sebagai kalimat yang bermakna dan tidak
akan diucapkan oleh penutur yang sehat pikirannya. Dengan dipandu oleh asumsi
itu, pendengar mengatur strategi untuk menangkap makna kalimat yang
didengarnya. Jika seseorang itu mendengar kalimat, ia akan mencari isyaratnya
yang akan memperkuat bahwa harapannya benar. Ketika menemukannya, ia akan
melompat pada simpulan tentang apa yang didengarnya.
Keempat asumsi itu meskipun disebutkan
berurutan tetapi ketika digunakan untuk menangkap makna kalimat ia akan dapat
bekerja secara serentak.
2.
Produksi Ujaran
Tujuan proses produksi ujaran adalah untuk
menghasilkan seperangkat bunyi yang digunakan untuk menyampaikan gagasan kepada
orang lain. Hal itu dilakukan dengan menggunakan rumus sintaksis dan fonologi
secara kompleks dan dengan secara terus‑menerus
menggunakan pertalian bunyi‑makna.
Gagasan yang hendak disampaikan oleh penutur mengandung dua asas, yaitu tujuan
dan proposisi.
Komponen
tujuan menyampaikan makna melibatkan keinginan penutur untuk menyampaikan
proposisi kepada pendengar. Topik seperti itu dalam bidang linguistik lazim
diperbincangkan dalam bagian tindak bahasa (speech act) dan tindak
ilokusi (illocutionary act). Misalnya, berkenaan dengan proposisi
[bahagia Joko], seorang penutur menegaskan proposisi itu benar dengan membuat
kalimat Joko bahagia, atau penutur dapat juga membuat
pengingkaran Joko tidak babagia. Atau ia membuat pertanyaan, Bahagiakah
Joko? atau membuat perintah Berbahagialah Joko!, dan dapat
pula penutur membuat ramalan, Kau tidak akan babagia Joko. Semua tujuan
yang berlainan itu melibatkan proposisi yang sama, yakni [bahagia, joko].
Proses universal ini menggunakan pengetahuan dan cadangan konsep‑konsep untuk menghasilkan pikiran. Proses ini dirangsang oleh
berbagai pengaruh mental dan fisik.
Pengetahuan merupakan cadangan atas
sejumlah unsur konsep dan pertalian konsep dan dengan ini pengetahuan tentang
dunia (selain pengetahuan bahasa) dibina dan disimpan. Cadangan utama konsep
ini dimiliki semua bahasa manusia.
Tujuan
dan Proposisi merupakan pokok pikiran yang hendak disampaikan penutur kepada
orang lain (pendengar). Pokok ini bersifat konseptual dan bukan bersifat
kebahasaan. Penyampaian pikiran dilakukan dalam bentuk kebahasaan atau dalam
bentuk tingkah laku. Tujuan melibatkan berbagai keinginan seperti bertanya,
mengingkari, menegaskan, dan memberikan perintah melalui proposisi. Proposisi
itu sendiri mengandung tiga jenis konsep yang bukan merupakan konsep
kebahasaan, yakni argumen, predikat, dan keterangan.
Keterangan yang diperlukan oleh bahasa
meliputi beberapa konsep bebas bahasa seperti data rujukan dan data kesopanan.
Keterangan yang diperlukan ini berbeda menurut bahasa. Misalnya, bahasa Inggris
mensyaratkan sesuatu benda yang dirujuk harus ditentukan memiliki persamaan
jurnlah dalam kelasnya atau sebaliknya.
Representasi
semantik merupakan pikiran sempurna yang hendak disampaikan penutur kepada
pendengar. Di dalamnya terdapat konsep universal bahasa dan ada yang wajib
(tujuan dan proposisi dan ada pula yang manasuka seperti kesopanan dan
rujukan).
Strategi asas merupakan satu dari beberapa
komponen bahasa yang digunakan untuk mengganti representasi semantik dengan
bentuk fonetik. Ini dilakukan dengan terus mencari pada komponen butir
tersimpan atau jika ini gagal, dapat dicari dengan rumus transformasi. Berkenaan
dengan komponen butir tersimpan, komponen strategi asas akan mendapatkan butir
yang tepat ataupun menggunakan suatu analogi rutin untuk butir yang sama.
Semua lema morfem, perkataan, dan kalimat
mengandung dua jenis pernyataan, yaitu bentuk bunyi dan maknanya. Oleh sebab
itu, memperoleh bentuk bunyi secara langsung dan cepat tanpa melakukan
pencarian dengan rumus transfromasi dan rumus fonologi dapat dilakukan. Lagi
pula, frase dan kalimat yang berkaitan dengan butir ini disimpan juga di sini.
Apabila komponen butir tersimpan tidak
dapat memberikan bekal representasi semantis secara langsung, maka kendali
rumus transformasi diperlukan. Rumus transformasi itu memberi bekal struktur
sintaksis yang menyatakan pertalian antara argumen dan predikatnya.
Pengendalian
rumus transformasi dan strategi asas gunanya ialah memberikan suatu struktur
permukaan sintaksis yang terisi dengan bentuk‑bentuk
perkataan.
Rumus fonologi menghasilkan representasi
fonetis apabila terdapat struktur permukaan sebagai masukan. Representasi
fonetis menentukan penyebutan bagi keseluruhan kalimat. Representasi fonetis
ini merupakan tuturan yang ditanggap pada tahap Psikologi dan mengandung bunyi
bahasa diskret dan fitur prosodi, misalnya bunyi [b] dan tekanan.
Otak mengawal gerak lidah, bibir, pita
suara, dan sebagainya, agar bunyi bahasa fisik dapat dihasilkan.
Isyarat ini mengandung gelombang bunyi
yang dapat terjadi berdasarkan frekuensi, amplitudo, dan perubahan waktu. Bunyi
bahasa tidak dikenal sebagai bunyi yang diskret. Sebaliknya, bunyi bahasa
merupakan paduan gelombang bunyi bersambungan yang kompleks.
0 comments:
Post a Comment