Tuesday 7 January 2014

PROSES BERBAHASA: PRODUKTIF DAN RESEPTIF


Pernahkah Anda mencoba merenungkan bagaimana proses Anda dapat menghasilkan tuturan dan bagaimana proses Anda memahami tuturan orang lain yang disampaikan pada Anda? Meski seharihari kita menghasilkan ujaran dan memahami ujaran orang lain, rasanya tak pernah terpikirkan oleh kita bagaimana proses berbahasa itu terjadi. Untuk dapat memahaminya Anda perlu memahami dulu tentang tindak berbahasa.


De Saussure seorang linguis dari Swiss menyatakan bahwa proses bertutur atau tindak bahasa itu merupakan rantai hubungan di antara dua orang atau lebih penutur A dan pendengar B (Simanjuntak, 1987). Perilaku tuturan itu terdiri atas bagian fisik yang terdiri atas mulut, telinga dan bagian dalam yaitu bagian jiwa atau akal yang terdapat dalam otak bertibdak sebagai pusat penghubung. Jika A bertutur, maka B mendengar dan jika B bertutur maka, A mendengar.

Di dalam otak penutur A terdapat faktafakta mental atau konsepkonsep yang dihubungkan dengan bunyibunyi kebahasaan sebagai perwujudannya yang digunakan untuk menyatakan konsepkonsep itu. Baik konsep maupun bayangan bunyi itu berada dalam otak, yaitu pada pusat penghubung. jika penutur A mengemukakan suatu konsep kepada penutur B, maka konsep tersebut membukakan pintu kepada pewujudnya yang serupa yaitu bayangan bunyi yang masih ada dalam otak dan merupakan fenomena psikologis. Kemudian otak mengirimkan dorongan hati yang sama dengan bayangan bunyi tadi kepada alat-alat yang mengeluarkan bunyi dan ini merupakan proses fisiologis. Kemudian gelombang bunyi bergerak dari mulut A ke telinga B dan ini merupakan proses fisik. Dari telinga B gelombang bunyi bergerak terus ke arah otak B dalam bentuk dorongan hati dan ini juga proses psikologis yang menghubungkan bayangan bunyi ini dengan konsep yang terjadi, seperti yang digambarkan dalam gambar berikut ini.


Audisi                                                                       Fonasi

0          k: konsep

k          b

O         b: bayangan bunyi


Fonasi                                                                      Audisi


Gambar 2.1 Proses Bertutur dan Memahami (Simanjuntak, 1984)

Leonard Bloomfield (1933) yang merupakan seorang pengikut behaviorisme

(meskipun sebenarnya semula dia adalah seorang pengikut mentalisme) menggambarkan proses bertutur itu dengan cerita sebagai berikut.

Jack dan Jill berjalanjalan. Jill melihat apel yang sedang masak di pohon. Jill berkata kepada Jack bahwa dia lapar dan ingin memetik apel itu. Jack memanjat pohon apel dan memetiknya serta memberikannya kepada Jill. Secara skematis peristiwa itu dapat digambarkan sebagai berikut.



S r
............................................


s
R

1
2
3
4
5
6
7

1  :  Jill melihat apel (S)
2    :  Otak Jill bekerja mulai dari melihat apel sampai berkata pada Jack

3    :  Perilaku atau kegiatan Jill waktu berkata (r)

4    :  Bunyibunyi yang dikeluarkan oleh Jill waktu berkata

5    : Perilaku atau kegiatan Jack sewaktu mendengar bunyi yang dikeluarkan Jill (S)
6    : Otak Jack bekerja mulai dari mendengar bunyibunyi sampai mulai bertindak

7    :  Jack bertindak memetik apel dan memberikannya kepada Jill (R).

Nomor 3, 4, dan 5 (r ...... s) adalah lambang tindak bahasa yang dapat diobservasi secara fisiologis dan nomor 4 sendiri dapat diamati secara fisiologis. r adalah produksi bunyi bahasa lambang ucapan S pengamatan bunyi bahasa Situasi S dan R adalah makna tindak bahasa itu.

Apabila kita menguasai suatu bahasa, maka dengan mudah tanpa raguragu kita dapat menghasilkan kalimatkalimat baru yang tidak terbatas jumlahnya. Teori semacam itu merupakan teori Chomsky. Teori itu terutama menyangkut sepasang pembicara yang ideal dalam suatu masyarakat bahasa, di mana kedua pembicara itu mempunyai kemampuan yang sama. Penutur dan pendengar harus mengetahui bahasanya dengan baik. Terjadinya proses komunikasi bahasa membutuhkan interaksi dari bermacammacam faktor, yaitu kompetensi bahasa penutur dan pendengar sebagai pendukung komunikasi tadi. Chomsky membedakan kompetensi bahasa, yaitu pengetahuan penutur tentang bahasanya dan performansi yaitu penggunaan bahasa (menghasilkan dan memahami kalimatkalimat dalam realitas).

1. Memahami Tuturan

Masalah menghasilkan tuturan dan memahami tuturan dalam komunikasi merupakan masalah yang rumit jika ditinjau dari sudut bahasa. Masalah utamanya adalah mungkin saja hubungan di antara keduanya itu tidak merupakan hubungan langsung. Meskipun, mungkin akan sangat lebih sederhana apabila psikolinguis mengatakan bahwa hubungan itu langsung. Tentu saja asumsi semacam itu tidak berdasar dan paling tidak ada beberapa kemungkinan hubungan, di antaranya sebagai berikut.

1.  Menghasilkan dan memahami tuturan merupakan dua hal yang memang sama sekali berbeda.
2.  Memahami tuturan itu tidak lain adalah menghasilkan tuturan dan sebaliknya.

3.  Memahami tuturan dan menghasilkan tuturan itu sama saja.

4.  Memahami tuturan dan menghasilkan tuturan itu mungkin sebagian sama dan sebagian yang lain berbeda (Aitchison, 1984).
Rentangan pilihan itu harus kita pertimbangkan untuk memperlakukan pemahaman dan produksi ujaran itu secara terpisah. Tampaknya kemungkinan 4 merupakan kemungkinan yang realistis. Proses produksi kalimat itu pada hakikatnya bermula dari makna dan kemudian pembicara mengantikannya dengan bunyi bahasa. Hal itu sejajar dengan pemahaman makna yang bermula dari bunyi bahasa dan pendengar menggantikannya dengan makna. Dalam menghasilkan kalimat atau tuturan, urutan ketat antara tahaptahap semantik, sintaksis, dan fonetik tidak perlu harus ditaati. Kadangkadang urutan itu bisa dilompati.

Dalam proses memahamii tuturan, sebenarnya telah terjadi proses mental dalam diri pendengar. Pendengar tidak hanya secara pasif mendaftar bunyibunyi itu saja, tetapi ia secara aktif memproses dalam pikirannya. Ada tuturan yang mudah dipahami dan ada pula tuturan yang sukar dipahami. Tuturan itu sukar bagi pendengar apabila tuturan itu tidak sesuai dengan harapan kebahasaannya dan jauh dari batas psikologis tertentu. Pendengar merekonstruksi secara aktif bunyi-bunyi bahasa dan kalimat dalam keselarasannya dengan harapan, baik secara kebahasaan maupun secara psikologis.

Selama ini linguis beranggapan bahwa proses memahami itu sederhana. Pendengar menebak, seperti seorang sekretaris duduk dengan mesin tiknya mengetik apa yang didiktekan kepadanya. Sekretaris itu secara mental mengetik bunyibunyi yang didengamya satu per satu dan kemudian membaca bunyibunyi yang membentuk kata itu. Dapat juga diibaratkan proses memahami tuturan itu seperti seorang detektif memecahkan kejahatan dengan mencocokkan sidik jari yang ditemukan di tempat kejadian perkara dengan sidik jari yang terdapat dalam arsipnya dan melihat sidik jari siapa itu. Karena tidak ada dua sidik jari pun yang sama, maka dianggapnya bunyibunyi itu mempunyai pola bunyi yang unik.

Ternyata pendekatan sekretaris dan sidik jari itu telah dibuktikan salah, baik oleh para ahli fonetik maupun ahli psikolinguistik. Hal itu menimbulkan beberapa masalah. Pertama, jelas bahwa pendengar tidak dapat mencocokkan bunyi satu per satu. Kecepatan tuturan tidak memungkinkan hal itu terjadi. Kedua, tidak ada representasi bunyi yang pasti dengan simbol pada mesin tik, misalnya huruf /t/. Bunyi itu bervariasi dari orang ke orang dan dari distribusi ke distribusi. Dengan demikian, tidak akan ada kecocokan secara langsung antara bunyi itu dengan simbol huruf pada mesin tik. Ketiga, bunyi secara akustis berada dalam sebuah kontinum. Bisa saja bunyi itu mempunyai kemiripan, misalnya /g/ seperti /k/, /d/ bisa menjadi /t/, dan sebagainya.

Pendengar memproses bunyibunyi itu secara aktif, melihat berbagai kemungkinan pesan bunyi itu dengan menggunakan latar belakang pengetahuannya tentang bahasa. Bukti yang paling jelas ialah betapa sulitnya kita menafsirkan bunyibunyi yang berasal dari bahasa asing yang kita tidak memiliki pengetahuan atau sedikit sekali pengetahuan tentangnya. Hal itu disebabkan kita begitu sibuk mencari apa yang kita harapkan untuk didengar. Kita gagal memperhatikan fitur yang baru. Yang diharapkan oleh pendengar itu tidak hanya pola bunyi, tetapi juga pola kalimat dan makna. Urutan pemahaman juga tidak harus kaku dari bunyi ke kalimat, kemudian ke makna, tetapi dapat saja seorang melompat dari bunyi langsung ke makna. Sebagai contoh, jika kita mendengar suara nenggonggong, tanpa melihat pun kita tahu bahwa itu adalah suara anjing atau bisa pula orang meniru suara anjing. Bukti itu menyarankan bahwa kita membuat dugaan yang mirip tentang apa yang kita dengar. Macam dugaan seseorang itu bergantung pada apa yang diharapkan untuk didengarnya. Apa yang sebenamya diharapkan oleh pendegar ketika akan memahami tuturan?

Ketika seseorang siap untuk memahami tuturan ia sebenamya mencocokkan tuturan itu dengan sejumlah asumsi atau harapan tentang struktur dan isi kalimat bahasanya. Kalimat yang cocok dengan harapannya akan lebih mudah dipahami dan yang tidak cocok akan sukar dipahami. Seperti apakah asumsi itu? Ada empat asumsi menurut Aitchison (1984), yakni sebagai berikut.

Asumsi 1:

Setiap kalimat terdiri atas satu atau dua penggalan bunyi dan setiap penggalan secara normal merupakan frase kata benda yang diikuti oleh frase kata kerja dan secara manasuka diikuti oleh frase kata benda yang lain. Jadi, setiap kalimat mungkin sederhana atau kompleks dan dapat terdiri atas beberapa penggalan bunyi.

Contoh:

Anak itu makan. (Frase kata benda frase kata kerja)

Anak itu makan kacang. (Frase benda frase kata kerja frase kata benda)


Asumsi 2:

Dalam urutan ‘frase kata bendakata kerjafrase kata benda’, kata benda yang pertama biasanya adalah pelaku dan yang kedua adalah objek. Begitulah kalimat itu mempunyai urutan pelaku tindakan dan objek.

Contoh:

Ali memukul bola.

Ali sebagai pelaku. Bola sebagai objek.

Asumsi 3:

Bila sebuah kalimat kompleks dibentuk dari klausa utama dan klausa bawahan, klausa utama itu biasanya muncul lebih dulu.
Contoh:

Ayah sedang makan ketika ibu datang.

‘Ayah sedang makan’ sebagai klausa utama. ‘ketika ibu datang’ sebagai klausa bawahan.

Asumsi 4:

Kalimat itu biasanya membentuk makna. Artinya, orang itu mengatakan sesuatu yang mempunyai makna dan tidak hanya asal berbicara.

Contoh:

1.            Bunga itu harum sekali.

2.            Karena dan itu bukan hanya daripada dari sebab.

Kalimat (1) mempunyai makna. tetapi, kalimat (2) itu tidak dapat disebut sebagai kalimat yang bermakna dan tidak akan diucapkan oleh penutur yang sehat pikirannya. Dengan dipandu oleh asumsi itu, pendengar mengatur strategi untuk menangkap makna kalimat yang didengarnya. Jika seseorang itu mendengar kalimat, ia akan mencari isyaratnya yang akan memperkuat bahwa harapannya benar. Ketika menemukannya, ia akan melompat pada simpulan tentang apa yang didengarnya.

Keempat asumsi itu meskipun disebutkan berurutan tetapi ketika digunakan untuk menangkap makna kalimat ia akan dapat bekerja secara serentak.

2. Produksi Ujaran

Tujuan proses produksi ujaran adalah untuk menghasilkan seperangkat bunyi yang digunakan untuk menyampaikan gagasan kepada orang lain. Hal itu dilakukan dengan menggunakan rumus sintaksis dan fonologi secara kompleks dan dengan secara terusmenerus menggunakan pertalian bunyimakna. Gagasan yang hendak disampaikan oleh penutur mengandung dua asas, yaitu tujuan dan proposisi.

Komponen tujuan menyampaikan makna melibatkan keinginan penutur untuk menyampaikan proposisi kepada pendengar. Topik seperti itu dalam bidang linguistik lazim diperbincangkan dalam bagian tindak bahasa (speech act) dan tindak ilokusi (illocutionary act). Misalnya, berkenaan dengan proposisi [bahagia Joko], seorang penutur menegaskan proposisi itu benar dengan membuat kalimat Joko bahagia, atau penutur dapat juga membuat pengingkaran Joko tidak babagia. Atau ia membuat pertanyaan, Bahagiakah Joko? atau membuat perintah Berbahagialah Joko!, dan dapat pula penutur membuat ramalan, Kau tidak akan babagia Joko. Semua tujuan yang berlainan itu melibatkan proposisi yang sama, yakni [bahagia, joko]. Proses universal ini menggunakan pengetahuan dan cadangan konsepkonsep untuk menghasilkan pikiran. Proses ini dirangsang oleh berbagai pengaruh mental dan fisik. 
Pengetahuan merupakan cadangan atas sejumlah unsur konsep dan pertalian konsep dan dengan ini pengetahuan tentang dunia (selain pengetahuan bahasa) dibina dan disimpan. Cadangan utama konsep ini dimiliki semua bahasa manusia.

Tujuan dan Proposisi merupakan pokok pikiran yang hendak disampaikan penutur kepada orang lain (pendengar). Pokok ini bersifat konseptual dan bukan bersifat kebahasaan. Penyampaian pikiran dilakukan dalam bentuk kebahasaan atau dalam bentuk tingkah laku. Tujuan melibatkan berbagai keinginan seperti bertanya, mengingkari, menegaskan, dan memberikan perintah melalui proposisi. Proposisi itu sendiri mengandung tiga jenis konsep yang bukan merupakan konsep kebahasaan, yakni argumen, predikat, dan keterangan.

Keterangan yang diperlukan oleh bahasa meliputi beberapa konsep bebas bahasa seperti data rujukan dan data kesopanan. Keterangan yang diperlukan ini berbeda menurut bahasa. Misalnya, bahasa Inggris mensyaratkan sesuatu benda yang dirujuk harus ditentukan memiliki persamaan jurnlah dalam kelasnya atau sebaliknya.

Representasi semantik merupakan pikiran sempurna yang hendak disampaikan penutur kepada pendengar. Di dalamnya terdapat konsep universal bahasa dan ada yang wajib (tujuan dan proposisi dan ada pula yang manasuka seperti kesopanan dan rujukan).

Strategi asas merupakan satu dari beberapa komponen bahasa yang digunakan untuk mengganti representasi semantik dengan bentuk fonetik. Ini dilakukan dengan terus mencari pada komponen butir tersimpan atau jika ini gagal, dapat dicari dengan rumus transformasi. Berkenaan dengan komponen butir tersimpan, komponen strategi asas akan mendapatkan butir yang tepat ataupun menggunakan suatu analogi rutin untuk butir yang sama.

Semua lema morfem, perkataan, dan kalimat mengandung dua jenis pernyataan, yaitu bentuk bunyi dan maknanya. Oleh sebab itu, memperoleh bentuk bunyi secara langsung dan cepat tanpa melakukan pencarian dengan rumus transfromasi dan rumus fonologi dapat dilakukan. Lagi pula, frase dan kalimat yang berkaitan dengan butir ini disimpan juga di sini.

Apabila komponen butir tersimpan tidak dapat memberikan bekal representasi semantis secara langsung, maka kendali rumus transformasi diperlukan. Rumus transformasi itu memberi bekal struktur sintaksis yang menyatakan pertalian antara argumen dan predikatnya.

Pengendalian rumus transformasi dan strategi asas gunanya ialah memberikan suatu struktur permukaan sintaksis yang terisi dengan bentukbentuk perkataan.
Rumus fonologi menghasilkan representasi fonetis apabila terdapat struktur permukaan sebagai masukan. Representasi fonetis menentukan penyebutan bagi keseluruhan kalimat. Representasi fonetis ini merupakan tuturan yang ditanggap pada tahap Psikologi dan mengandung bunyi bahasa diskret dan fitur prosodi, misalnya bunyi [b] dan tekanan.

Otak mengawal gerak lidah, bibir, pita suara, dan sebagainya, agar bunyi bahasa fisik dapat dihasilkan.

Isyarat ini mengandung gelombang bunyi yang dapat terjadi berdasarkan frekuensi, amplitudo, dan perubahan waktu. Bunyi bahasa tidak dikenal sebagai bunyi yang diskret. Sebaliknya, bunyi bahasa merupakan paduan gelombang bunyi bersambungan yang kompleks. 

0 comments:

Post a Comment

Walkthrough Bahasa Indonesia. Powered by Blogger.